Tak Kenal... Tak Sayang...

34 views
Skip to first unread message

Rahmat M Samik-Ibrahim

unread,
Jan 3, 2006, 9:05:49 AM1/3/06
to tekno...@googlegroups.com
Rekan-rekan,

Berikut arsip pengalaman "pelajaran membaca artikel ilmiah"
yang berlangsung semester yang lalu. Pelajaran ini diikuti
secara "setengah mati" oleh 23 perserta. Artikel yang saya
anggap "gampang" ternyata masih sangat sulit bagi
yang tidak biasa membaca artikel ilmiah.

Silabus dapat dilihat di
http://free.vlsm.org/v02/org/vlsm/rms46/2/128.html

Pengalaman beberapa peserta dapat dilihat di
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/Seminar-MIS/2005/1-Pengalaman/

Arsip lainnya di
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/Seminar-MIS/

Nantinya, pingin buat artikle di
http://free.vlsm.org/v02/org/vlsm/rms46/2/131.pdf

tabe,

--
Rahmat M. Samik-Ibrahim

Zaki Akhmad

unread,
Jan 3, 2006, 9:49:03 PM1/3/06
to teknologia

Terimakasih Pak Samik untuk berbagi-nya. Nanti kalau sudah saya baca,
segera saya berikan komentar deh. Sekarang masih harus benar-benar
menyiapkan diri untuk UAS. :D

Zaki Akhmad.

Anto S. Nugroho

unread,
Jan 4, 2006, 12:48:10 AM1/4/06
to teknologia
Pak Samik yth.

Sharing informasi ini sangat bermanfaat. Di Jepang, biasanya untuk
level S1 tingkat
akhir atau S2 ada sistem yang sama dengan yg dilakukan Pak Samik. Dalam
bahasa
Jepang disebut "rinkoh". Ini sangat bermanfaat sebagai latihan mereka
yang ingin
menempuh jalur peneliti, agar terbiasa membaca journal ilmiah dalam
bahasa Inggris.
Dulu di lab. kami disarankan,
- agar dalam proses pencarian tema riset, dalam satu hari membaca
setidaknya
10 paper secara cepat ("ala kadarnya"), dan fokus pada 1 paper yang
diminati
dibaca dengan teliti.
- Tips dari seorang editor journal, agar saat menulis journal,
setidaknya sudah survey
20 an paper, dapat mengkritisi contents dari paper itu, dan menemukan
satu
originality yang berhasil dibuktikan dengan data eksperimen yg valid.

Kalau sudah demikian, biasanya paper ybs. sangat sulit untuk
direject.

_____________________________________________________________________________________________
Anto Satriyo Nugroho, Dr.Eng
E-mail : nug...@life.chukyo-u.ac.jp, asnu...@ieee.org
URL : http://www.asnugroho.net/ Tel. +81-565-46-6638 Fax.
+81-565-46-1299
- School of Life System Science & Technology, Chukyo University,
Toyota-Japan (Visiting Prof.)
- Agency for the Assessment and Application of Technology (P3TIE-BPPT),
Jakarta-Indonesia

Rahmat M Samik-Ibrahim

unread,
Jan 4, 2006, 3:32:17 AM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
Pak Anto:

"Tak kenal tak sayang" ini merupakan kelanjutan dari "Penelitian
Bidang Sistem Informasi Managemen di Indonesia (SIMDI):
Quo Vadis?"

Bagaimana mungkin mengharapkan nama peneliti Indonesia
muncul dalam jurnal top seperti MISQ, ISR, dst.; sedangkan yang
pernah membaca, apa lagi teratur membaca jurnal tersebut
sangat langka! Jadi terpaksa deh "memperkenalkan" jurnal
tersebut kepada para mahasiswa.

Ternyata, rintangannya tidak sedikit. Pertama, hambatan dari
Fakultas; sebab hal ini dianggap "tanggung": bukan kursus
bahasa Inggris dan bukan kuliah metodologi penelitian. Terpaksa,
kuliah "Seminar" dipermak untuk keperluan ini, sebab seminar
memiliki derajat kebebasan "bahan ajar" yang memadai.

Selanjutnya, bagaimana memilih artikel dengan derajat
kesulitan yang secara perlahan meningkat. Ternyata, artikel
yang saya anggap "gampang" belum tentu ''gampang''
untuk mahasiswa.

Apakah ada informasi lebih lanjut mengenai "rinkoh"
(dalam bahasa Inggris)?

--
Rahmat M. Samik-Ibrahim

Anto S. Nugroho

unread,
Jan 4, 2006, 10:40:58 AM1/4/06
to teknologia
Pak Samik yth.

Saya baru tahu kalau di Indonesia ada rintangan spt. yang
disebutkan. Di Jepang, rinkoh memang lebih umum dilaksanakan
di seminar lab. Kalau di Jepang, anak-anak Bachelor tingkat
akhir mulai masuk kehidupan lab. Mereka tergabung pada
satu laboratorium yang dipimpin seorang professor. Laboratorium
tsb. memiliki otoritas, untuk mengelola kegiatan risetnya.
Rinkoh biasanya merupakan satu agenda dalam seminar
rutin lab. tersebut disamping presentasi kemajuan riset masing-
masing anggota.

Materi rinkoh juga bervariasi. Kadangkala mendiskusikan isi satu
buku terbaru di bidang yg ditekuni, tapi bisa juga didasarkan tema
yang mungkin tidak selalu berkaitan secara sistematik.

Kalau dalam bentuk kuliah umum, rinkoh paper memang agak repot,
karena sulit untuk ditulis di syllabus. Kuliah bertujuan memberikan
dasar suatu ilmu secara sistematik. Sedangkan rinkoh paper
lebih bertujuan membuka wawasan dan informasi terbaru, jadi
kadang tidak berturutan satu dengan yang lain.

Anto SN
http://asnugroho.net

Rahmat M Samik-Ibrahim

unread,
Jan 4, 2006, 11:12:52 AM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
> Saya baru tahu kalau di Indonesia ada rintangan spt. yang
> disebutkan.

Rintangannya ialah bahwa sebuah "mata ajar" ber-SKS
(mendapat nilai) perlu memiliki atribut-atribut "keilmuan
tertentu". Saya rasa itu berlaku umum dan bukan
spesifik Indonesia.

Yang spesifik Indonesia (negara dunia ke tiga?) bahwa
mahasiswanya tidak terbiasa membaca bacaan ilmiah
berbahasa Inggris. Lebih menyedihkan, "berpikir kritis"
dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
suasana diskusi "yang meriah" di dalam sebuah kelas.

Apakah mengikuti "rinkoh" mendapat nilai?

--
Rahmat M. Samik-Ibrahim

Achmad Husni Thamrin

unread,
Jan 4, 2006, 11:32:41 AM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Rahmat M Samik-Ibrahim <rmsi.v...@gmail.com> wrote:
>
> Yang spesifik Indonesia (negara dunia ke tiga?) bahwa
> mahasiswanya tidak terbiasa membaca bacaan ilmiah
> berbahasa Inggris. Lebih menyedihkan, "berpikir kritis"
> dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
> suasana diskusi "yang meriah" di dalam sebuah kelas.
>
> Apakah mengikuti "rinkoh" mendapat nilai?
>

Ikutan nimbrung.

Di tempat saya, partisipasi dalam rinkoh menjadi bagian dari mata
kuliah seminar lab.di jenjang S2, tetapi bukan menjadi penilaian
utama.

Pengalaman saya ikutan rinkoh, karena topiknya sangat lebar, maka
pertanyaan-pertanyaan banyak yang meminta klarifikasi tentang isi
paper yang dibawakan.
Jadi, kalau mau serius membawakan rinkoh, si mahasiswa membutuhkan
waktu persiapan lebih dari seminggu untuk bisa betul-betul memahami
paper. Hal ini termasuk masalah kemampuan bahasa Inggris mahasiswa
Jepang yang biasanya pas-pasan (Saya pikir kemampuannya sama [atau
lebih buruk?] dengan mahasiswa PTN Indonesia). Pada kenyataannya sih
banyak mahasiswa yang engga serius, hehe. Tetapi dengan situasi begini
pun kadang-kadang ada diskusi yang bagus muncul pada saat rinkoh.

Barangkali rinkoh yang paling tepat untuk jenjang S1 adalah prasyarat
untuk mengerjakan Tugas Akhir (TA). Kesulitan membaca paper adalah
salah satu masalah bagi saya dulu saat mengerjakan TA. Udah
capek-capek cari paper di kantor BPPT, pas baca paper masih pusing aja
karena ilmunya belum nyampe. Saya pikir kalau waktu itu ada rinkoh,
mungkin pusing dan stresnya berkurang.

Anto S. Nugroho

unread,
Jan 4, 2006, 11:41:08 AM1/4/06
to teknologia
Pak Samik yth.

Untuk rinkoh yang berupa seminar di lab., rinkoh itu hanya bentuk
pelaksanaannya
saja, tapi secara formal merupakan bagian dari mata kuliah tertentu.
Jadi ada
nilai/SKS nya.

Misalnya untuk undergraduate course di tempat saya sekarang, ada
matakuliah
yang namanya "Special Excercises on Life System Science" (2SKS)
Pelaksanaannya berupa seminar di lab. dan isi/teknisnya diserahkan pada
tiap
professor. Biasanya nanti diisi dengan rinkoh, praktikum dsb. Kalau
untuk S2 & S3 tidak ada nilai khusus untuk rinkoh dalam seminar di
lab.
Tapi hal tsb. merupakan bagian kegiatan rutin dalam lab. yang harus
diikuti ybs.

Anto SN
http://asnugroho.net

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 4, 2006, 12:25:21 PM1/4/06
to teknologia
> Yang spesifik Indonesia (negara dunia ke tiga?)

mungkin lebih definitif lagi: negara dunia ke tiga BUKAN ex-kolonial
inggris.Terus terang saya tidak melihat ini dari lulusan India
misalnya.

>bahwa
> mahasiswanya tidak terbiasa membaca bacaan ilmiah
> berbahasa Inggris.

Waduh,kenapa bisa begitu ya ? aneh sekali dari kaca mata saya.

>Lebih menyedihkan, "berpikir kritis"
> dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
> suasana diskusi "yang meriah" di dalam sebuah kelas.

Wah kalau tidak bisa berpikir kritis jangan diharapkan punya peluang
untuk bekerja/terlibat/bikin di bidang yang memproduksi hitek,artinya
jadi bangsa pengguna terus.Untuk meeting mengenai sebuah software
feature design misalnya,kita harus kritis cari tahu inter-dependensi
dengan module lain,kalau semuanya "yes-man" dijamin produk bakal jatuh.

Carlos

Budi Rahardjo

unread,
Jan 4, 2006, 5:16:07 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/4/06, Rahmat M Samik-Ibrahim <rmsi.v...@gmail.com> wrote:
...

> Lebih menyedihkan, "berpikir kritis"
> dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
> suasana diskusi "yang meriah" di dalam sebuah kelas.
...

Tadinya saya pikir kejadian ini hanya spesifik di tempat
saya saja, tapi ternyata terjadi di tempat lain.
(Umum di Indonesia?)

Tanya ke pak Samik: "Apakah mahasiswa berani bertanya
di kelas bapak?" ;-)
Saya bingung karena untuk memancing pertanyaan saja
membutuhkan usaha yang keras.
Apalagi membangun diskusi :(

Tips? tricks?

-- budi

Affan Basalamah

unread,
Jan 4, 2006, 6:12:28 PM1/4/06
to teknologia
Ass.wr.wb.

Pak Budi,
kalau boleh usul, caranya gini aja, bilang ke mahasiswanya :

"Nilai hanya diberikan kepada mahasiswa yang berbicara (bertanya dan
berdiskusi) di dalam kelas, sisanya dapet NOL! "

;)

wass.wr.wb.

-affan

Budi Rahardjo

unread,
Jan 4, 2006, 6:21:45 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Affan Basalamah <affanzb...@gmail.com> wrote:
> Ass.wr.wb.

wa'alaikum salam wr wb

> Pak Budi,
> kalau boleh usul, caranya gini aja, bilang ke mahasiswanya :
> "Nilai hanya diberikan kepada mahasiswa yang berbicara (bertanya dan
> berdiskusi) di dalam kelas, sisanya dapet NOL! "

Saya akan coba, tapi belum yakin berhasil.
Terakhir saya coba adalah:
Kalau tidak ada yang bertanya, maka saya akan berikan
pekerjaan rumah & quiz.
Hasilnya: pekerjaan rumah & quiz :(

Mau denger apa pak Samik punya trik untuk membuat diskusi yang
lebih hidup...

-- budi

adi

unread,
Jan 4, 2006, 6:35:41 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, Jan 05, 2006 at 05:16:07AM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> Saya bingung karena untuk memancing pertanyaan saja membutuhkan usaha
> yang keras. Apalagi membangun diskusi :(

seringkali orang mengambil snapshot dan lantas memvonis. cara berpikir
cross-sectional begini sudah lama ditinggalkan dalam riset (aktif
ditinggalkan sejak 80-an, tetapi masih digunakan sampai skrg). suatu
peristiwa/fenomena perlu dipandang dan dikaji secara longitudinal
berikut hukum sebab-akibat yang terjadi di dalamnya.

> Tips? tricks?

- seleksi
- turunkan uang gedung
- turunkan spp

kenapa perlu diturunkan? untuk menjaring orang-orang yang berjiwa
'mandiri' sebanyak-banyaknya. kalau bermandiri ria dengan sekedar
menjadi tukang cuci piring, tidak mungkin bisa menanggung beban ekonomi
sebesar itu.

jadi, mustinya ndak usah kaget lah, wong sebagian besar (hampir semua)
_ngempeng_ ortu.

dari sisi yang lain, sebenarnya kualitas dosen, kualitas prasarana dan
sarana pendidikan, kurikulum, metode pendidikan, sedikit sekali
sumbangannya bagi keberhasilan pendidikan.

Q: kok sudah lulus tidak bisa menulis pakai WS4?
A: belajar sendiri dong, enak aja! kan sudah dikasih dasar-dasarnya

Q: kok sudah lulus tidak bisa bisa bikin program
A: belajar sendiri dong, enak aja! kan sudah dikasih dasar-dasarnya

Q: kok sudah lulus kerja masih kagak becus?
A: belajar sendiri dong, enak aja! kan sudah dikasih dasar-dasarnya
A: kalau itu mah perlu kursus
A: no warranty
A: use it with your own risk
A: EGP
A: idiot dilarang protes
A: get lost

Q: kalau saya bisa belajar sendiri, ngapain saya harus bayar? ngapain anda di
depan saya?
A: get lost

seperti ada buku berjudul: physician is poison, jadi sama saja, dosen is
poison. seperti aristoteles bilang: kenalilah dirimu sendiri :-)

A: get lost :-))

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Budi Rahardjo

unread,
Jan 4, 2006, 6:38:19 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, adi <a...@postpi.com> wrote:

> > Tips? tricks?
>
> - seleksi

apa yang mau dilihat dari proses seleksi?
IQ? EQ? SQ? kemampuan bicara? berdiskusi?
atau apa? hint, please.

> - turunkan uang gedung
> - turunkan spp
>
> kenapa perlu diturunkan? untuk menjaring orang-orang yang berjiwa
> 'mandiri' sebanyak-banyaknya. kalau bermandiri ria dengan sekedar
> menjadi tukang cuci piring, tidak mungkin bisa menanggung beban ekonomi
> sebesar itu.

hubungannya dengan "membangun diskusi yang hidup" kira-kira
dimana ya? apa maksudnya orang yang 'mandiri' ini bisa membangun
diskusi yang lebih hidup? apa bukannya orang yang mandiri ini
malah bisa berdiri sendiri dan tidak membutuhkan proses diskusi
("saya sudah bisa, ngapain ikutan diskusi kayak gini")?


asumsi kita tidak punya kendali dalam proses seleksi.
jadi, sudah diberikan sebuah kelas dengan kondisi apa adanya.
apa yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan proses diskusi?
atau ... memang sudah tidak ada harapan lagi? (hopeless?)


-- budi

Ferry Haris

unread,
Jan 4, 2006, 6:39:18 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
Saya sebagai seorang mahasiswa yang berada di kelas pak Samik ingin
berusaha menjawab sedikit.
Entah karena dosennya atau apa, tapi kami cenderung lebih terbuka
untuk berdiskusi dan bertanya di dalam kelas2 Pak Samik ketimbang
dalam kelas lainnya.
Mungkin masalah aura :)

Tapi itu juga kembali kepada pribadi masing2 mahasiswanya.
Pada umumnya sih kami (suara jeritan hati) malas bertanya karena
"takut". Takut mengeluarkan pertanyaan yg terkesan konyol bagi teman2
yang lain, takut dinilai tidak memperhatikan (apalagi kalau
pertanyaannya adalah pertanyaan yang sudah dibahas sebelumnya).

Mungkin memang bukan cara yang baik, tapi biasanya "pancingan" yang
bersifat menguntungkan memang lebih kami sukai (as mahasiswa
tentunya), meski akan merepotkan sang dosen.
Misalnya saja waktu kuliah OS dulu, pak Samik memberikan kupon bagi
siapa saja yang bertanya dan menjawab pertanyaan, sehingga kami
berlomba2 untuk mengumpulkan kupon tersebut karena dari kupon itu ada
sekian persen penilaian :)

On 1/5/06, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:

> Tanya ke pak Samik: "Apakah mahasiswa berani bertanya
> di kelas bapak?" ;-)
> Saya bingung karena untuk memancing pertanyaan saja
> membutuhkan usaha yang keras.
> Apalagi membangun diskusi :(
>
> Tips? tricks?
>
> -- budi
>


--
Ferry Haris (FeHa)
http://www.chrans.net

baskara

unread,
Jan 4, 2006, 7:15:30 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:
>
> Tadinya saya pikir kejadian ini hanya spesifik di tempat
> saya saja, tapi ternyata terjadi di tempat lain.
> (Umum di Indonesia?)
>
> Tanya ke pak Samik: "Apakah mahasiswa berani bertanya
> di kelas bapak?" ;-)
> Saya bingung karena untuk memancing pertanyaan saja
> membutuhkan usaha yang keras.
> Apalagi membangun diskusi :(
>
> Tips? tricks?

Menurut saya [selagi lagi menurut saya], kalau tidak ada yang bertanya
berarti materi kuliah kurang menarik. :-)
Ini pengalaman saya saja sebagai mahasiswa [tapi belum pernah
mengikuti kuliah pak Budi] dan sebagai pengajar. Dulu saya selalu
bereksperimen setiap minggu. Kalau minggu ini semua bengong saja,
minggu berikutnya gaya mengajar saya ubah. Kalau masih bengong juga,
minggu berikutnya saya ubah lagi. Sampai akhirnya seringkali saya
sampai setiap selesai jamnya mengajar, mahasiswa masih menahan saya
untuk ditanya-tanyai [yang seringkali tidak bisa saya jawab juga :-)].

Mengenai sistem rinkoh, terus terang, itu membosankan kalau materinya
tidak menarik buat mahasiswanya. Agar tertarik, materinya harus bisa
dimengerti. Materi yang mudah dimengerti mahasiswa, sebagai langkah
pertama, umumnya paper-paper yang berisi "overview" atau "survey".
Umumnya sering muncul di Proceeding of IEEE, IEEE Networks, IEEE
Communication Magazine, dll yang bukan transaction. Di IEEE
Transaction juga sebenarnya kadang-kadang ada. Jadi, mahasiswa tahu
"the big picture" terlebih dahulu. Isi papernya umumnya ringan karena
minim analisis. Setelah itu, mungkin mahasiswa akan tertarik mendalami
salah satu section/subsection/topik atau open problem (biasanya
ditulis di akhir paper) yang ada di paper tersebut. Ada 2 mahasiswa
dari China yang saya suguhi "hidangan" seperti itu di lab saya
sekarang, dan tampaknya masih lancar [mereka sudah menemukan masalah
untuk riset mereka].

adi

unread,
Jan 4, 2006, 7:45:34 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, Jan 05, 2006 at 06:38:19AM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> apa yang mau dilihat dari proses seleksi?
> IQ? EQ? SQ? kemampuan bicara? berdiskusi?
> atau apa? hint, please.

mestinya ini pertanyaan internal, seperti apa yang mau diseleksi, untuk
apa diseleksi, seperti apa seleksinya, output seleksi seperti apa
dst..dst..

> > - turunkan uang gedung
> > - turunkan spp

barrier-to-entry di atas menentukan tipe orang yang bisa masuk.
contoh yang jelas: menerima pegawai baru (yang khusus beragama X).
sengaja pakai contoh sensitif :-) dengan demikian jelas sekali
environment seperti apa yg akan terbentuk.

saya memandang perguruan tinggi sebagai sebuah treatment dari suatu
penelitian experimetal, jadi pemilihan obyek penelitian yang eligible,
menentukan hasil (kriteria yang tepat dan randomized).

> hubungannya dengan "membangun diskusi yang hidup" kira-kira
> dimana ya?

motivasi. orang yang ngempeng susah sekali memiliki motivasi.
apa sih faktor yang mendorong orang untuk bisa mengobrol dengan
'gayeng'? ya minat dan motivasi. soal cara, nomer dua lah (walaupun
seringkali orang terlalu sibuk dengan masalah cara ini, sehingga
pembicaraan menjadi sangat membosankan. no progress). maaf, sara,
biasanya orang kaya 'kepekaannya' kurang.

> asumsi kita tidak punya kendali dalam proses seleksi.
> jadi, sudah diberikan sebuah kelas dengan kondisi apa adanya.
> apa yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan proses diskusi?
> atau ... memang sudah tidak ada harapan lagi? (hopeless?)

ini yang saya lihat dari pertanyaan Budi Rahardjo dan Rahmat M
Samik-Ibrahim, yang berasumsi: 'kita' OK, what's wrong with YOU?
atau bahkan (barangkali): 'saya' OK, what's wrong with YOU?
jangan pernah berpikir apa yang sudah sivitas akademika berikan padamu,
tetapi apa yang sudah kamu berikan pada sivitas akademika :-)

padahal, karena barrier-to-entry di atas, ya sudah, yang masuk memang
seperti itu.

kalau berpikiran pendek, ya sudah, kita selesaikan saja yang di depan
kita saja, stop talking about bullsh*t :-) jadinya ya kasih insentif
saja, misalnya dikasih:
- permen
- tiket keluar kelas gratis
- di-'kuliah'-i (saya dulu, saking demennya berdiskusi, walaupun kebelet
pipis, tetap saya tahan, demi diskusi)
- point
- menjaga penampilan (rambut pakai jeli, dasi, dll)
- improvisasi lain

apa mau berpikiran pendek? kalau ya, silakan diskusi dilanjutkan.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Ronny Haryanto

unread,
Jan 4, 2006, 7:48:24 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 5 Jan 2006 10:38 am, Budi Rahardjo wrote:
> asumsi kita tidak punya kendali dalam proses seleksi.
> jadi, sudah diberikan sebuah kelas dengan kondisi apa adanya.
> apa yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan proses diskusi?
> atau ... memang sudah tidak ada harapan lagi? (hopeless?)

Dari dosen2 saya yg selama ini sukses membuat diskusi di kelas, mereka
biasanya habis nerangin sesuatu lalu melempar pertanyaan ke salah satu
mahasiswanya secara random (atau ada yg udah diincer). Pertanyaan seperti
"gimana pendapat anda?", "anda punya pengalaman seperti itu nggak?", atau apa
lah yg relevan dg apa yg lagi dibahas. Pokoknya mencoba mengorek2 supaya dia
ngomong, hehe, tapi ya ini yg susah, mesti pinter2 membaca orgnya apa yg bisa
membuat dia ngomong.

Ini banyak tergantung ke murid2nya sendiri, kalo dasarnya gak berani/suka/mau
ngomong ya sulit. Dan memang seharusnya sih diubah dr pendidikan jenjang
awal2 sih, dr TK, SD, SMP begitu sudah diencourage utk ngomong. Saya rasa
saya bisa ngerti posisi Pak Budi yg gak bisa mengubah apa yg sudah ada dan
ingin mencoba mulai membuat perubahan dr diri sendiri. Tapi rasanya utk
jangka panjang saya pesimis kalo begitu terus2an, lebih optimis kalo sejak
awal org2nya udah (diencourage untuk) berani ngomong.

Lainnya (ini maksa, bukan encourage, saya kurang suka sebetulnya, tapi kadang
perlu): partisipasi biasanya bobotnya sekitar 10% dr total nilai, tapi kalo
partisipasinya 0 maka nggak dilulusin dr kelas itu. Bisa digabung dg absensi
utk memaksa minimal hadir.

Ronny

Ronny Haryanto

unread,
Jan 4, 2006, 7:48:44 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 5 Jan 2006 10:39 am, Ferry Haris wrote:
> Mungkin memang bukan cara yang baik, tapi biasanya "pancingan" yang
> bersifat menguntungkan memang lebih kami sukai (as mahasiswa
> tentunya), meski akan merepotkan sang dosen.
> Misalnya saja waktu kuliah OS dulu, pak Samik memberikan kupon bagi
> siapa saja yang bertanya dan menjawab pertanyaan, sehingga kami
> berlomba2 untuk mengumpulkan kupon tersebut karena dari kupon itu ada
> sekian persen penilaian :)

[Mohon mereply di bawah yg dikutip, seperti ketentuan milis ini.]

Menggunakan imbalan saya rasa sifatnya hanya sementara saja (di kelas itu
doang), dan malah bisa backfire: kalo gak ada imbalan jadi gak mau
ngomong/tanya. Jadi bisa lebih parah. Mirip seperti kenapa kita kadang lihat
di hotel ada tulisan "mohon tidak memberi tip".

Mungkin triknya adalah kombinasi antara negative reinforcement (paksa dg nilai
partisipasi, dikasih quiz, ditanya secara random, dsb), dengan positive
reinforcement (pujian, penghargaan atas pendapat, dsb) yg membangun/menaikkan
kepercayaan diri, tapi reinforcementnya tidak dalam bentuk imbalan.
Disclaimer: saya bukan pengajar maupun ahli psikologi.

Ronny

Budi Rahardjo

unread,
Jan 4, 2006, 8:25:22 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, adi <a...@postpi.com> wrote:

> ini yang saya lihat dari pertanyaan Budi Rahardjo dan Rahmat M
> Samik-Ibrahim, yang berasumsi: 'kita' OK, what's wrong with YOU?
> atau bahkan (barangkali): 'saya' OK, what's wrong with YOU?

wah ... saya melihat pak adi ini sudah antipati dengan posting
saya. (silahkan disimak di email-emailnya yang cenderung
menyerang pribadi saya. hik hik hik. well, that's ok.)
kalau sudah demikian, ya repot mau diskusi karena sudah ada
pendapat seperti itu.

salah kalau pak adi berpendapat bahwa saya merasa sudah ok.
posisi saya adalah "what's wrong with US?"

justru saya bertanya adalah untuk melakukan perubahan/koreksi
dengan saya. apa yang bisa saya ubah, ya saya ubah.
(akan tetapi yang tidak bisa saya ubah, ya saya terima.
sebagai contoh, saya kagak punya kuasa di proses seleksi mhs.
meskipun saya meraung-raung, saya tidak yakin didengarkan.
jadi ambil asumsi ada hal-hal yang di luar kuasa saya.)

contoh perubahaan yang bisa terjadi di keduanya:
kalau mahasiswa maunya xyz, tapi tujuan
adalah abc, maka apa yang harus saya lakukan?
(maybe we meet halfway, kita ketemu di yzab?)
mungkin saya ubah pola kuliah? tidak melulu di kelas?
mungkin kita perlu jalan-jalan?
atau model pak samik, kasih kupon? atau bagaimana?

> jangan pernah berpikir apa yang sudah sivitas akademika berikan padamu,
> tetapi apa yang sudah kamu berikan pada sivitas akademika :-)

hi hi hi ... :)
sudah banyak pak. kalau diuraikan di sini ... jadi riya :)
ha ha ha.


> kalau berpikiran pendek, ya sudah, kita selesaikan saja yang di depan
> kita saja, stop talking about bullsh*t :-) jadinya ya kasih insentif
> saja, misalnya dikasih:
> - permen
> - tiket keluar kelas gratis
> - di-'kuliah'-i (saya dulu, saking demennya berdiskusi, walaupun kebelet
> pipis, tetap saya tahan, demi diskusi)
> - point
> - menjaga penampilan (rambut pakai jeli, dasi, dll)
> - improvisasi lain
>
> apa mau berpikiran pendek? kalau ya, silakan diskusi dilanjutkan.

untuk thread/topik ini: ya.
saya ingin tahu yang bisa saya implementasikan.


kita bahas yang panjang lebar (high level) di thread lain?

-- budi

baskara

unread,
Jan 4, 2006, 8:25:40 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Ronny Haryanto <ronn...@haryan.to> wrote:

>
> Dari dosen2 saya yg selama ini sukses membuat diskusi di kelas, mereka
> biasanya habis nerangin sesuatu lalu melempar pertanyaan ke salah satu
> mahasiswanya secara random (atau ada yg udah diincer). Pertanyaan seperti
> "gimana pendapat anda?", "anda punya pengalaman seperti itu nggak?", atau apa
> lah yg relevan dg apa yg lagi dibahas. Pokoknya mencoba mengorek2 supaya dia
> ngomong, hehe, tapi ya ini yg susah, mesti pinter2 membaca orgnya apa yg bisa
> membuat dia ngomong.

Ini juga salah satu metode yang sering saya pakai. Kuliah itu umumnya
MEMBOSANKAN. Kita hanya duduk, menyimak, mendengarkan, mencatat, bisa
sampai 3 jam pula. Setelah kuliah berlangsung kira-kira setengah jam,
itu adalah saat-saat kita ingin tidur. Setiap beberapa menit kita
selalu melihat jam berharap kuliah segera selesai. Dosennya jelas
tidak ikutan ngantuk karena bicara dan bergerak terus. :-)

Agar peserta kuliah tidak mengantuk, sering saya tunjuk secara random
untuk menjawab pertanyaan. Maju ke depan kalau perlu. Cara itu saya
pakai karena saya pernah dilempari pertanyaan saat kuliah dan kantuk
hilang total sampai selesai kuliah. :-)

Ronny Haryanto

unread,
Jan 4, 2006, 8:51:52 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, 5 Jan 2006 11:48 am, Ronny Haryanto wrote:
> Lainnya (ini maksa, bukan encourage, saya kurang suka sebetulnya, tapi
> kadang perlu): partisipasi biasanya bobotnya sekitar 10% dr total nilai,
> tapi kalo partisipasinya 0 maka nggak dilulusin dr kelas itu. Bisa digabung
> dg absensi utk memaksa minimal hadir.

Sorry reply ke email sendiri.

Supaya gak kesannya maksa dg partisipasi itu, mungkin baiknya dijelaskan dulu
(tidak usah panjang lebar, yg penting mengena) kenapa kok partisipasi itu
penting, kenapa kok kita mau encourage discussion, kenapa kok bertanya,
menyampaikan pendapat dan membuat kesalahan itu gak dosa dan gak perlu
ditertawakan. Jadi muridnya dikasih motivasi, seperti sudah dibilang rekan
lain tadi (lupa siapa, hehe).

Ronny

adi

unread,
Jan 4, 2006, 9:06:01 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, Jan 05, 2006 at 08:25:22AM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> wah ... saya melihat pak adi ini sudah antipati dengan posting
> saya. (silahkan disimak di email-emailnya yang cenderung
> menyerang pribadi saya. hik hik hik. well, that's ok.)


waks .. saya kaget. masa sih? tolong kalau ada yang mau membantu, saya
diingatkan (japri), mana dari tulisan saya yang menyerang pribadi
(personal attack) ke siapa saja, di mana saja, kapan saja.

sebenarnya mau buat thread baru, tapi kalau saya kasih subyek, pasti
sama: "tak kenal maka tak sayang", makanya saya pinjam thread ini saja :-)

sebelumnya, banyak terima kasih.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Anto Satriyo Nugroho

unread,
Jan 4, 2006, 11:03:30 PM1/4/06
to tekno...@googlegroups.com
baskara wrote:
> Mengenai sistem rinkoh, terus terang, itu membosankan kalau materinya
> tidak menarik buat mahasiswanya. Agar tertarik, materinya harus bisa
> dimengerti. Materi yang mudah dimengerti mahasiswa, sebagai langkah

Ada untung-ruginya juga, pak. Kalau terlalu sulit, mahasiswa-nya "lari"
semua. Kalau terlalu mudah, kita hanya akan menghabiskan waktu membaca hal-
hal yang sudah out of date. Kalau rinkoh dilakukan di seminar lab. saya
fikir mahasiswanya lah yang harus "agak dipaksa" memahami paper tsb.
dan mempresentasikannya dengan bahasa yg mudah difahami. Rinkoh dalam
seminar lab., pendapat saya, lebih bertujuan untuk menyerap perkembangan
terbaru riset secara cepat dan efisien. Terutama kalau mahasiswanya
banyak yang dari graduate course.

Tapi kalau rinkoh itu dilakukan dalam sebuah kelas umum (diikuti bukan
saja oleh mahasiswa lab. kita, tapi juga oleh mahasiswa yang berbeda
bidang), saya rasa lebih baik mengacu bukan pada paper, tapi pada satu
buku tapi terbitan terbaru. Dengan demikian, pembahasannya sistematis
dan mahasiswa bisa mendapat "big picture"-nya, dan disisi lain ada hal-hal
baru yang (seharusnya dan pada umumnya) sudah diakomodasi di buku itu.
Jadi baik dosen dan mahasiswa akan mendapat informasi yang tidak trivial.

Saat kuliah dulu saya pernah mengikuti kuliah ttg artificial neural
network, dan professornya memakai sistem rinkoh. Saya ikut dua kali,
karena tertarik belajar isinya. Buku yang dipakai :
1) Simon Haykin, Neural Networks: A Comprehensive Foundation (2nd Edition),
Prentice Hall, 1998
2) Anderson, Pellionisz & Rosenfeld, Neurocomputing 2: Directions for
Research, MIT Press, 1993

Buku yg pertama disusun secara sistematik, dan bahasannya menarik.
Sedangkan buku kedua merupakan kompilasi paper utama di bidang neural
network sejak abad 19, bahasanya sulit dan sangat advanced, dan berupa
tema lepas. Hasil kedua rinkoh beda jauh. Mahasiswa keliatan lebih enjoy
dengan buku yang pertama. Saya juga rasakan demikian. Sampai sekarang
masih agak ingat isi dari buku No.1. Tapi kalau buku No.2, rinkoh-nya
banyak yang macet. Saya juga sudah lupa lagi, apa isinya, kecuali
yang jadi tugas saya untuk mempresentasikannya. :-)

Zaki Akhmad

unread,
Jan 4, 2006, 11:24:57 PM1/4/06
to teknologia
Wah topiknya Pak Samik jadi menarik nih. Saya tinggal ujian dulu
sehari, eh tiba-tiba tanggapan yang datang sudah begitu banyak. Saya
coba tanggapi mengikuti alur yang terjadi di topik ini ya. BTW, saya
baru download satu tulisan. Tulisannya Wira Perdana, Pak Samik.

Pertama dari tulisan Pak Samik yang mencoba membangkitkan kemampuan
kritis mahasiswa. Cara yang ditempuh Pak Samik adalah membiasakan
mahasiswa untuk membaca jurnal ilmiah. Dan benar apa yang Pak Samik
katakan. Mahasiswa memang sangat tidak terbiasa membaca jurnal ilmiah
(eh kalau definisi mahasiswa-nya terlalu luas: PTN/PTS/Negara Dunia
ketiga/ex-kolonial Inggris, saya sempitkan saja deh. Mahasiswa=saya
sendiri).

Mengapa saya tidak mambaca jurnal ilmiah? Karena saya tidak tertarik.
Mengapa saya tidak tertarik membaca jurnal ilmiah? Karena bagi saya
membosankan? Mengapa bagi saya membosankan? Karena ternyata bagi saya
baca buku sosial lebih menarik. Mengapa buku sosial lebih menarik bagi
saya? Karena saya tahu aplikasi dari buku-buku tersebut di Indonesia.
Mengapa saya gak berpikir untuk ke kerja di LN? Karena wawasan saya
sempit. Mengapa wawasan saya sempit? Karena tidak baca jurnal ilmiah?
Mengapa tidak baca jurnal ilmiah? Karena harganya mahal? Kenapa gak
usaha? Karena saya manja, maunya disuapin terus. Mengapa saya manja dan
maunya disuapin terus? Karena saya selalu berpikir jangka pendek dan
pragmatis.

Yah kurang lebih gitu deh loopingnya.

Lalu opini Pak Budi soal budaya bertanya/berpikir kritis yang kurang,
ini benar! Saya termasuk orang yang takut bertanya. Takut akan diri
sendiri: dicap gak pernah nyimak, dicap males. Belum lagi takut kepada
dosennya: karakter dosen beragam, dosen belum siap untuk diskusi
terbuka di dalam kelas.

Lanjut soal sistem ujian masuk PT. Ini benar lagi. Saya termasuk orang
yang cuma kena racun passing grade tinggi. Begitu masuk kuliah,
ternyata kemampuan Matematika saya itu cuma sebatas berhitung :((
Padahal Matematika itu tidak sama dengan berhitung (latar belakang saya
menulis topik yang dulu itu).

Mengenai suasana di dalam kelas, ini bisa jadi diskusi yang menarik
lagi. Bagi saya setiap orang itu unik. Dan kelas besar cenderung
menyeragamkan orang-orang. Contoh sederhana: (sepertinya saya sudah
pernah cerita disini), mungkinkah dalam waktu 2 jam kuliah setiap orang
dari 80 mahasiswa bertanya? Jika satu orang menghabiskan waktu 3 menit
maka butuh total waktu 240 menit (4 jam). Itu baru tanya jawab saja,
belum termasuk waktu kuliahnya.

Tenang saja Zaki, kan ada si teknologi informasi. Oke, kita bisa
memanfaatkan milis untuk diskusi kuliah. Tapi lagi-lagi menyangkut
kultur. Sudah biasakah kita dengan budaya baca-tulis? Sori jadi melebar
kemana-mana.

Tanggapan lainnya saya mengenai hal lainnya saya pikir tidak perlu.
Saya setuju dengan cara-cara seperti reward and punishment untuk
memancing budaya kritis di dalam kelas.

Zaki Akhmad
*lagi berusaha naik pangkat dari script-kiddies*

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 4, 2006, 11:43:28 PM1/4/06
to teknologia
>
> Mengapa saya tidak mambaca jurnal ilmiah? Karena saya tidak tertarik.

Kalau saya dulu,kuncinya fokus dan determistik.Ketahui minatnya dimana.

Misalnya saya ternyata suka sekali membaca cara kerja protocols(core
networks),saya stop 100% bacaan diarea database atau operating sistem(
well,tetap baca sich,tapi hanya yang penting pentingnya saja).

Sebaliknya kalau mahasiswanya suka dengan bagaimana cara OS driver
bekerja,gak perlu baca jurnal rumus matematika untuk QoS misalnya ;-)

> Mengapa saya tidak tertarik membaca jurnal ilmiah? Karena bagi saya
> membosankan? Mengapa bagi saya membosankan? Karena ternyata bagi saya
> baca buku sosial lebih menarik. Mengapa buku sosial lebih menarik bagi
> saya? Karena saya tahu aplikasi dari buku-buku tersebut di Indonesia.

Masalah Zaki sebenarnya adalah masalah kita semua,saya juga
mengalaminya dan frustrasi juga sich melihat lingkungan
sekeliling,apalagi (kalau) sadar bahwa Indonesia sebenarnya nyaris
jalan di tempat dalam perkembangan teknologi informasi 10 tahun
terakhir :(

Untuk menjawab itu gak mudah Zak,dan saya sudah uraikan sebagain
permasalahanya,jadi gak bisa memang solusinya dari satu
sektor(akademisi) saja,tapi juga dari sisi lain terutama ekonomi: iklim
bisnis IT,telekomunikasi,dlsb.


> Mengapa saya gak berpikir untuk ke kerja di LN? Karena wawasan saya
> sempit. Mengapa wawasan saya sempit? Karena tidak baca jurnal ilmiah?
> Mengapa tidak baca jurnal ilmiah? Karena harganya mahal? Kenapa gak
> usaha? Karena saya manja, maunya disuapin terus. Mengapa saya manja dan
> maunya disuapin terus? Karena saya selalu berpikir jangka pendek dan
> pragmatis.

Memang bener,untuk "hit resistance" lokal tersebut harus berpikiran
sangat panjang,makanya saya suangaat mendukung jika ada industri
litbang di Indonesia,asalkan bisa menghasilkan income dan menyerap
SDM.Tidak banyak yang melihat ini bisa menjadi jawaban dari sebagian
permasalahan di Indonesia
(wah kata-katanya nyontek dari blogs BR nich).


Carlos

Zaki Akhmad

unread,
Jan 5, 2006, 12:23:03 AM1/5/06
to teknologia

Muhamad Carlos Patriawan wrote:
> Kalau saya dulu,kuncinya fokus dan determistik.Ketahui minatnya dimana.

Hidup sederhananya cuma sebatas memilih. Tapi ternyata untuk memilih
itu tidak mudah. Karena setiap pilihan ada konsekuensinya. Hi..hi....hi

> Masalah Zaki sebenarnya adalah masalah kita semua,saya juga
> mengalaminya dan frustrasi juga sich melihat lingkungan
> sekeliling,apalagi (kalau) sadar bahwa Indonesia sebenarnya nyaris
> jalan di tempat dalam perkembangan teknologi informasi 10 tahun
> terakhir :(

Masalah saya sebenarnya sekarang sudah sederhana kok Bang Carlos.
Tinggal nunggu nilai semester ini keluar saja. :D

> Untuk menjawab itu gak mudah Zak,dan saya sudah uraikan sebagain
> permasalahanya,jadi gak bisa memang solusinya dari satu
> sektor(akademisi) saja,tapi juga dari sisi lain terutama ekonomi: iklim
> bisnis IT,telekomunikasi,dlsb.

Sip, sepakat! Pada akhirnya kembali ke, "Get your role and play it
well". Asal jangan ambil role penjahat saja ya.

> Memang bener,untuk "hit resistance" lokal tersebut harus berpikiran
> sangat panjang,makanya saya suangaat mendukung jika ada industri
> litbang di Indonesia,asalkan bisa menghasilkan income dan menyerap
> SDM.Tidak banyak yang melihat ini bisa menjadi jawaban dari sebagian
> permasalahan di Indonesia
> (wah kata-katanya nyontek dari blogs BR nich).
>
>
> Carlos

Berat....berat......berat
Harus terus konsisten, fokus, dan kerja keras (sekaligus menikmatinya).
Butuh orang-orang seperti "Superman" untuk mewujudkani ini menjadi
nyata di Indonesia.

Zaki Akhmad

Mohammad DAMT

unread,
Jan 5, 2006, 3:51:30 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
Pada hari Kamis, tanggal 05/01/2006 pukul 08:25 +0700, Budi Rahardjo
menulis:

> wah ... saya melihat pak adi ini sudah antipati dengan posting
> saya. (silahkan disimak di email-emailnya yang cenderung

Wah saya lihatnya ga seperti itu loh. Biasa aja.

> salah kalau pak adi berpendapat bahwa saya merasa sudah ok.
> posisi saya adalah "what's wrong with US?"

Saya pikir kalau murid2nya tidak ada yg bertanya, ya tidak salah juga.
Saya juga waktu sekolah dulu jarang bertanya. Lah apa yang mau
ditanyain? Biasanya kalau bicara juga kalau benar2 ga ngerti atau karena
protes tidak setuju dengan apa yang dibicarakan pak guru.

Jadi kalau mau, ajarin aja yg salah2. Kalau ada yg protes, kasih nilai
tambah, kalau yg diem aja ya biarin aja.

Pengalaman dulu sekolah, ilmunya biasanya diperoleh dari majalah,
jurnal, dan Internet. Di sekolah dulu kerjanya cuma entah gangguin yg
duduk di depan, tidur sambil megang bulpen dalam posisi menulis, atau
berebutan baca komik Kariage Kun.

> mungkin saya ubah pola kuliah? tidak melulu di kelas?
> mungkin kita perlu jalan-jalan?
> atau model pak samik, kasih kupon? atau bagaimana?

Belajarnya sambil praktek mungkin lebih asyik. Bawa alat-alat peraga
betulan. (Jadi ingat dulu belajar bahasa assembly untuk PDP-11,
sedangkan PDP-11-nya cuma ada dalam khayalan saja) Anggap saja murid2nya
itu anak TK semua, kalau nulis di papan yang besar-besar hurufnya, bawa
karton warna-warni, bikin lagu (untuk menghafal misalnya), ruang
kelasnya dipindah di rumah makan sunda, yang salah menjawab disuruh
menyanyi, dsb dsb. Jadi yang sedang baca komik pun akan teralihkan
perhatiannya ke pelajaran.

> -- budi

didik achmadi

unread,
Jan 5, 2006, 4:03:48 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com

Belajarnya sambil praktek mungkin lebih asyik. Bawa alat-alat peraga
betulan. (Jadi ingat dulu belajar bahasa assembly untuk PDP-11,
sedangkan PDP-11-nya cuma ada dalam khayalan saja) Anggap saja murid2nya
itu anak TK semua, kalau nulis di papan yang besar-besar hurufnya, bawa
karton warna-warni, bikin lagu (untuk menghafal misalnya), ruang
kelasnya dipindah di rumah makan sunda, yang salah menjawab disuruh
menyanyi, dsb dsb. Jadi yang sedang baca komik pun akan teralihkan
perhatiannya ke pelajaran.

wah kalau dosen saya kayak pak mdamt saya bakalan rajin masuk kuliah tuh. soalnya pasti "ceria" :D Terutama kalau ada makanan yang disediakan secara gratis.

Tapi ada benarnya kok. Ada salah satu dosen saya dulu yang menerangkan matematika teknik lengkap dengan penjelasan gambar-gambar sketsa sederhana untuk berbagai konsep yang menyertainya [konsekuensinya ya.. jam ngajarnya jauh lebih lama dari seharusnya, sampe 3 jam lebih, ada acara break sholat dan makan siang pula :D]. Jadinya jauh lebih informatif, menyenangkan dan memancing para mahasiswanya untuk bertanya lebih jauh [kecuali yang gak mudeng babar blas :p]

--
Best Regards


Didik Achmadi
http://achmadi.net

Budi Rahardjo

unread,
Jan 5, 2006, 7:16:37 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Mohammad DAMT <md...@gnome.org> wrote:
...

> Saya pikir kalau murid2nya tidak ada yg bertanya, ya tidak salah juga.
...

Kalau memang murid2nya bisa, nggak masalah.
Permasalahannya, ketika di-quiz/ujian, gak bisa!
Saya kasih contoh permasalahan:

buat sebuah program yang membuat matriks 5x5
kemudian isi sehingga matriks tersebut menjadi
1 0 0 0 0
1 1 0 0 0
1 1 1 0 0
1 1 1 1 0
1 1 1 1 1

mosok gini saja nggak bisa?
saya hanya membutuhkan jawaban/ide/algoritma saja.
hayo ...

> Saya juga waktu sekolah dulu jarang bertanya. Lah apa yang mau
> ditanyain?

MDAMT kan pinter. Jadi udah ngarti. Ya memang mau nanya apa?
Sah kalau nggak tanya. (Dosen tambah senang.)


> Jadi kalau mau, ajarin aja yg salah2. Kalau ada yg protes, kasih nilai
> tambah, kalau yg diem aja ya biarin aja.

Walah ... nanti malah ngejeblosin dong.
(Tapi ide bagus juga. Boleh dicoba neh.)


> Belajarnya sambil praktek mungkin lebih asyik. Bawa alat-alat peraga
> betulan.

Betul. Di kelas juga kadang2 saya bawa peraga:
- vacuum tubes, transistor, IC
- buku2 tentang ini dan itu,
- majalah (IEEE, Business Week, Newsweek)

Ada juga acara ngajar di bawah pohon. (Ini kesukaan anak2.)
Ada perl poetry.
Ada juga nonton video.
Ada juga mensimulasikan komputer dengan masing2 berperan
sebagai CPU, I/O (keyboard, monitor), dsb.
Jadi itu sudah saya coba semua (termasuk ide2 dari buku
accelerated learning, metoda presentasinya lessig, dsb.)
I am open to ideas ...

Memang ada 1 atau 2 orang yang selalu datang setelah kelas
untuk ngobrol. Kelihatannya mereka pemalu, sungkan kalau
bertanya di kelas. (Mungkin takut dianggap sok pinter oleh
rekan-rekannya?)

Kembali ke pak Samik: bagaimana membuat diskusi kelas yang
lively ya?

-- budi

Made Wiryana

unread,
Jan 5, 2006, 7:42:16 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/4/06, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:

On 1/4/06, Rahmat M Samik-Ibrahim <rmsi.v...@gmail.com> wrote:
...
> Lebih menyedihkan, "berpikir kritis"
> dianggap sebuah keanehan. Sulit sekali membangun
> suasana diskusi "yang meriah" di dalam sebuah kelas.
...

Tanya ke pak Samik: "Apakah mahasiswa berani bertanya
di kelas bapak?" ;-)
Saya bingung karena untuk memancing pertanyaan saja
membutuhkan usaha yang keras.
Apalagi membangun diskusi :(

Ditembak saja mahasiswa buat bertanya :-) (nyontek trick pak Gatot HP he he he)

IMW

Made Wiryana

unread,
Jan 5, 2006, 7:45:00 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:


Memang ada 1 atau 2 orang yang selalu datang setelah kelas
untuk ngobrol. Kelihatannya mereka pemalu, sungkan kalau
bertanya di kelas. (Mungkin takut dianggap sok pinter oleh
rekan-rekannya?)

Kembali ke pak Samik: bagaimana membuat diskusi kelas yang
lively ya?

Kalau bapak-bapak yg ngajar di PTN top relatif menerima masalah ini, gimana saya yg ngajar di PTS massal :-).

Saran saya, belajar dari teman-teman yang sering ngadepim mahasiswa majemuk. Akan banyak tricknya.

IMW

James A

unread,
Jan 5, 2006, 9:19:38 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com

Betul, mesti "dipaksa", "dicekokin", "dibiasain" :)

Bikin "role-playing game" untuk suatu masalah, misalnya simulasi rapat project dimana mahasiswa
dikasih peran jadi pemilik perusahaan, konsultan, pegawai, dsb. Kasih topik yang bisa memancing
debat.

Bikin kerja kelompok untuk membuat suatu makalah, "suruh" presentasi di depan kelas, lalu suruh
kelompok lainnya "membantai". Kedua kelompok dinilai berdasarkan kemampuan "bertahan" dan
"membantai" nya :)

Kalau muridnya gak terlalu banyak, suruh bikin makalah, "paksa" maju ke depan kelas untuk
presentasi satu-per-satu.

Kasih topik2 yang menarik, misalnya:
- Kalau kamu jadi CEO Microsoft, apa yang bakalan kamu lakukan untuk menghadapi gerakan open
source :P
- Kalau kamu dikasih duit 1 miliar, perusahaan IT seperti apa yang bakalan kamu bikin ?

dst. dst.

Yang jelas, "jangan kasihan" dengan mahasiswa/i yang malas dan pasif! "Hajar!" biar mereka tahu
bahwa tabiat itu adalah tidak baik. Selama ini mungkin mereka cuek aja karena "toh berlaku begitu
tidak akan kenapa-kenapa :P".



__________________________________________
Yahoo! DSL – Something to write home about.
Just $16.99/mo. or less.
dsl.yahoo.com

Ronny Haryanto

unread,
Jan 5, 2006, 9:32:35 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, 6 Jan 2006 01:19 am, James A wrote:
> Kalau muridnya gak terlalu banyak, suruh bikin makalah, "paksa" maju ke
> depan kelas untuk presentasi satu-per-satu.
>
> Kasih topik2 yang menarik, misalnya:
> - Kalau kamu jadi CEO Microsoft, apa yang bakalan kamu lakukan untuk
> menghadapi gerakan open source :P
> - Kalau kamu dikasih duit 1 miliar, perusahaan IT seperti apa yang bakalan
> kamu bikin ?
>
> dst. dst.

Lebih seru lagi kalo mereka suruh pilih sendiri topiknya (dosen bantu kasih
ide bbrp topik luas). Suruh mereka kirim proposal satu paragraf aja (< 100
kata), nanti dosen yg approve. Jangan sampe ada presentasi dg topik yg sama.
First come first served.

Ini maksa mereka utk research, nulis report, dan presentasi, dan yg lebih
penting memaksa mereka utk mikir dan mendalami apa yg menarik buat mereka.

Buat yg nonton presentasi untungnya gak mbosenin karena topiknya laen2 semua.

Ini pernah saya alami sendiri (sebagai mahasiswa), dan selama kuliah dr dulu
sampe skrg, kelas ini adalah kelas paling bagus yg pernah saya ikuti. Di
kelas ini juga yg dosennya memancing banyak diskusi dg sebentar2 melempar
pertanyaan. Kelasnya jadi rame, kita banyak belajar dr pengalaman2 org lain,
jadi gak bosen.

Ronny

Mohammad DAMT

unread,
Jan 5, 2006, 9:36:34 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 01:32 +1100, Ronny Haryanto
menulis:

> Lebih seru lagi kalo mereka suruh pilih sendiri topiknya (dosen bantu kasih
> ide bbrp topik luas). Suruh mereka kirim proposal satu paragraf aja (< 100

Pengalaman waktu dulu, kalau murid disuruh pilih sendiri, biasanya malah
bingung. Ada kawan udah berbulan-bulan bengong hanya karena ga tau mau
nulis skripsi tentang apaan.

> Ronny

baskara

unread,
Jan 5, 2006, 9:49:18 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/5/06, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:
>
> Kalau memang murid2nya bisa, nggak masalah.
> Permasalahannya, ketika di-quiz/ujian, gak bisa!
> Saya kasih contoh permasalahan:
>
> buat sebuah program yang membuat matriks 5x5
> kemudian isi sehingga matriks tersebut menjadi
> 1 0 0 0 0
> 1 1 0 0 0
> 1 1 1 0 0
> 1 1 1 1 0
> 1 1 1 1 1
>
> mosok gini saja nggak bisa?

Ha ha ha. Pengalaman saya malah lebih parah pak. Saya hanya minta
membuat program untuk membuat sebuah array berukuran sembarang, diisi
angka sembarang, dan hitung nilai rata2nya. Itu saja tidak bisa.
Elektro ITB lho pak. :-)

Ronny Haryanto

unread,
Jan 5, 2006, 9:49:53 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com

Makanya dosennya bantu kasih ide bbrp topik yg luas, mungkin bisa membantu
mahasiswa utk menemukan apa yg mereka suka (lebih fokus). Atau kasih petunjuk
di mana utk mencari hal2 yg baru2. Dosen yg mudah diapproach (enak diajak
ngomong, encourage utk nanya) juga biasanya didatengin oleh yg kebingungan
utk diskusi ttg ide2. Nanti dosennya nanya, "kamu tertariknya di apa?", kalo
gak ada yg dia tertarik ya memang repot. Dr jawaban dia kan bisa dibantu
mengarahkan topiknya.

Saya rasa sih apapun caranya gak bakal bisa memuaskan 100% dari semua aspek.
Perlu trial and error untuk mencocokkan dengan sikon masing2.

Ronny

Mohammad DAMT

unread,
Jan 5, 2006, 9:59:01 AM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 01:49 +1100, Ronny Haryanto
menulis:

> utk diskusi ttg ide2. Nanti dosennya nanya, "kamu tertariknya di apa?", kalo
> gak ada yg dia tertarik ya memang repot. Dr jawaban dia kan bisa dibantu

"Kamu tertariknya apa?"
"nggak tahu pak"
"Kalau tentang X bagaimana?"
"ngga ngerti pak"
"Kalau Y?"
"sama pak, ga ngerti"

suruh pulang saja sambil kasih formulir pendaftaran jurusan lain.

> Ronny

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 5, 2006, 10:07:27 AM1/5/06
to teknologia

Hehehe...masalah diatas persis seperti masalah yang diungkapkan Zaki.

Mestinya sich,dikasih gambaran juga,career path di dalam negeri dan di
luar negeri seperti apa,sebagian mahasiswa beranggapan kalau terlalu
tinggi ilmunya berakhir jadi dosen di Indonesia dan ilmunya tidak bisa
diaplikasikan secara nyata di Indonesia :-)

Mungkin harus dikasih tahu,kalau tertariknya dengan XYZ "oracle"
menanti anda,kalau tertarik dengan "abc" Intel dan AMD menanti
anda,kalau tertarik dengan "xxx" Nvidia atau National Semiconductor
menanti anda :)

Carlos

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 5, 2006, 10:15:39 AM1/5/06
to teknologia
On Thu, 5 Jan 2006, Muhamad Carlos Patriawan wrote:

> Zaki Akhmad wrote:
>> Muhamad Carlos Patriawan wrote:
>>> Kalau saya dulu,kuncinya fokus dan determistik.Ketahui minatnya dimana.
>>
>> Hidup sederhananya cuma sebatas memilih. Tapi ternyata untuk memilih
>> itu tidak mudah. Karena setiap pilihan ada konsekuensinya. Hi..hi....hi
>

Betul,dan pilihan selalu dibatasi lingkungan internal dan external
seperti tempat dan waktu.

Dari sisi eksternal,seorang Zaki yang tahun 2005 berada di Bandung bisa
punya pandangan yang sangat berbeda jika Zaki pada saat yang sama
berada di Dalian atau Bangalore dalam memandang masalah yang sama.Dulu
saya karena tahunya cuman Internet-related bisnis kemudian milih
kecebur disitu,sekarang setelah melihat segala pilihan malah kadang2
terpikir untuk nyebur di bidang CRM/ERP dan outsourcing,mungkin karena
CRM/ERP/outsourcing lebih banyak fulusnya :-)

Dari sisi internal,gara-gara hari ini baru mengunjungi pesawat terbang
yg ditemukan Wright bersaudara,sempat lihat interviewnya yang
menanyakan faktor apa yg menyebabkan wright bersaudara bisa menemukan
pesawat terbang ? *******dia jawab "hubungan keluarga yang erat dan
situasi yang selalu men-encourage curiosity,inovasi dan
invention******

>>> Untuk menjawab itu gak mudah Zak,dan saya sudah uraikan sebagain
>>> permasalahanya,jadi gak bisa memang solusinya dari satu
>>> sektor(akademisi) saja,tapi juga dari sisi lain terutama ekonomi: iklim
>>> bisnis IT,telekomunikasi,dlsb.
>>
>> Sip, sepakat! Pada akhirnya kembali ke, "Get your role and play it
>> well". Asal jangan ambil role penjahat saja ya.
>

Kalau bicara dalam konteks Indonesia *saat ini*,yang dibutuhkan adalah
individu atau group yang bisa produksi dan kalau bisa dapat menciptakan
lapangan pekerjaan pada hitech knowledge khususnya (entah hitech yang
lowtech atau hitech yang hitech,yang penting termasuk dalam
pengembangan "knowledge society").

>>> Memang bener,untuk "hit resistance" lokal tersebut harus berpikiran
>>> sangat panjang,makanya saya suangaat mendukung jika ada industri
>>> litbang di Indonesia,asalkan bisa menghasilkan income dan menyerap
>>> SDM.Tidak banyak yang melihat ini bisa menjadi jawaban dari sebagian
>>> permasalahan di Indonesia
>>> (wah kata-katanya nyontek dari blogs BR nich).
>>>
>>>
>>> Carlos
>>
>> Berat....berat......berat
>> Harus terus konsisten, fokus, dan kerja keras (sekaligus menikmatinya).
>> Butuh orang-orang seperti "Superman" untuk mewujudkani ini menjadi
>> nyata di Indonesia.
>>
>> Zaki Akhmad
>

kalau bapak yang satu itu sudah self-proclaimed ambil role sebagai
"Frederick Terman" berarti sudah siap dengan segala
konsekwensinya,tentunya sudah siap jika diledek "orang IT bisa
menghasilkan apa sich ?" :-) Tinggal masalahnya, orang-orang
sekitar(baca: ente dan ane) dan komunitas bagaimana membantu (melalui
ide beliau),maunya sich kita ambil role juga sebagai "Narayana
Murthi"nya Indonesia atau "Vinod Khosla"nya Indonesia biar saling
bersinergi secara positip.

Carlos

adi

unread,
Jan 5, 2006, 6:12:50 PM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, Jan 05, 2006 at 04:59:01PM +0200, Mohammad DAMT wrote:
> "Kamu tertariknya apa?"
> "nggak tahu pak"
> "Kalau tentang X bagaimana?"
> "ngga ngerti pak"
> "Kalau Y?"
> "sama pak, ga ngerti"
>
> suruh pulang saja sambil kasih formulir pendaftaran jurusan lain.

boleh percaya boleh tidak. masalah ini sudah ada sejak +/- 1989, sejak
ekonomi mulai terpuruk .. sejak barrier-to-entry masuk ke perguruan
tinggi mulai ditentukan oleh duit. dulu, juga ada lho pertanyaan/kasus
seperti punya Pak RMS, tetapi setelah bbrp waktu barangkali orang jadi
terbiasa. baru-baru ini, cuman anak babeh dan cukong saja yang bisa
masuk, bukan sulap bukan sihir, ada lagi yang mengeluh mengenai masalah
ini (worst ...). nanti bbrp waktu lagi, orang juga akan terbiasa lagi.
yang jelas, pada akhirnya (setelah ngomong muter-muter) dari dulu
masalah yang dituduhkan sama:
- mahasiswa kurang kritis
- mahasiswa salah pilih
- mahasiswa kurang motivasi
- mahasiswa malas
- mahasiswa maunya minta disuapin
- mahasiswa yang begini-begitu pokoknya bukan salah saya

bagaimana kalau perguruan tinggi melakukan test-case, pakai sistem
gugur?

- terima bbrp orang yang berminat (gratis)
- pakai sistem gugur, kurikulum ketat
- lulus langsung kerja

dibayangkan saja juga boleh, ndak usah dikerjakan beneran :-)

kriteria memasukkan itu yang menentukan, kalau botol kita isi air, ya di
dalamnya air, kalau diisi bensin ya bensin, kalau diisi air dan bensin,
bukan bensin campur.

ada contoh yang (duh .. mudah-mudahan bisa dipahami karena 'dunia' kita
lain :-), misal penatalaksanaan penyakit TB. ada rule-of-thumb:
penanganan setengah-setengah: make-it-worst! don't do it! resistensi
mikobakteria thd antibiotik, mikobakteria ini kecepatan metabolismenya
sangat rendah repot kalau resisten, belum lagi masalah alergi penderita
thd antibiotika tertentu. (analogikan dengan sikap skeptis dan pesimis
masyarakat, calon peserta didik, soal alergi, analogikan dengan orang
yang bisa berantem hanya karena soal beda cara), nah, apa sih sebenarnya
masalahnya? sebenarnya masalahnya adalah, titik dua, penyakit TB itu
penyakit hiegene-sanitasi yang melekat erat dengan tingkat ekonomi
(ingat: barrier-to-entry duit). jadi, gampangnya kasih perumahan sehat
gratis di wilayah-wilayah endemik TB untuk jangka panjang, dan gunakan
DOTS (google...google, analogikan DOTS dengan bagi-bagi permen di kelas)
untuk jangka pendek.

perguruan tinggi bersubsidi, sudah tahu lah sejak jaman dahulu kala
kalau biaya pendidikan itu tinggi _DAN_ subsidi bisa ditarik. tetapi
setelah ditarik, ya yang mengherankan, tidak ada yang protes, baru sadar
ternyata upaya antisipasi belum ada setelah puluhan tahun, bahkan ada
yang baru tahu: oh iya ya .. memang mahal, ya udah naikkan SPP :-)

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

adi

unread,
Jan 5, 2006, 6:50:09 PM1/5/06
to tekno...@googlegroups.com
On Thu, Jan 05, 2006 at 03:07:27PM -0000, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
> Mestinya sich,dikasih gambaran juga,career path di dalam negeri dan di
> luar negeri seperti apa,sebagian mahasiswa beranggapan kalau terlalu
> tinggi ilmunya berakhir jadi dosen di Indonesia dan ilmunya tidak bisa
> diaplikasikan secara nyata di Indonesia :-)

benar sekali :-)

tetapi, satu hal anda keliru. justru, Indonesia itu selalu yang terdepan.
Gini, sesekali kita bilang gini: orang jerman itu kok pinter-pinter ya,
orang finland itu kok cerdik-cerdik ya bisa jualan walky-talky sampai
segitu massalnya. gimana sih sekolah-sekolah di sana? he..he.. dulu ada
orang swedia yang 'menjual' sekolahnya ke calon mahasiswa dari
indonesia dgn tawaran 10 bln udah dapat gelar master. lah iya lah, wong
sekolah di sana gratis.

india cukup cerdik, barangkali tidak sampai gratis, tetapi sekolah di
sana murah, hasilnya? bisa kita lihat sendiri.

di Indonesia gimana? Selalu yang terdepan. Barangkali biaya kuliah di
perguruan tinggi negeri yang jauh lebih mahal dari perguruan tinggi
swasta hanya ada di Indonesia. Hebat kan? logikanya kan kalau jumlah
peserta didik makin besar, berarti biaya individu makin kecil (bisa
patungan dengan yang lain), tetapi lagi-lagi Indonesia mampu mematahkan
logika tersebut secara spektakuler. Buktinya, universitas dengan
jumlah mahasiswa terbesar di asia tenggara, tetapi biaya pendidikan
individu masih lebih besar dibanding universitas (swasta!) dengan jumlah
mahasiswa yang jauh lebih kecil. hebat bukan?

dan satu hal lagi, jangan lupa, pendidikan adalah komoditi, kenyataannya
perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa terbesar di asia tenggara itu
juga menyerap banyak (sekali) tenaga kerja :-) mulai dari pengajar,
administrasi sampai parkir.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Zaki Akhmad

unread,
Jan 5, 2006, 9:18:54 PM1/5/06
to teknologia
Muhamad Carlos Patriawan wrote:
> Hehehe...masalah diatas persis seperti masalah yang diungkapkan Zaki.

He..he..hieu.... kok saya tertariknya malah Z. :D

Ya seperti yang saya sebutkan di looping negatif kemarin, gara-gara
wawasan saya sempit. Coba saya kenal Bang Carlos sejak tingkat 1,
tingkat 2. Lain cerita deh. Walaupun ini bisa juga jadi pembenaran bagi
saya.

> Mestinya sich,dikasih gambaran juga,career path di dalam negeri dan di
> luar negeri seperti apa,sebagian mahasiswa beranggapan kalau terlalu
> tinggi ilmunya berakhir jadi dosen di Indonesia dan ilmunya tidak bisa
> diaplikasikan secara nyata di Indonesia :-)

Kemarin-kemarin saya beranikan untuk bercerita di depan kelas. Kelas
kecil sih, <10 orang, mata kuliah pilihan, jadinya berani deh. Saya
cerita ke teman-teman saya yang memang jalannya lebih "lurus" di dunia
Elektro dibandingkan saya yang harus "muter-muter" dulu. Saya bilang,
harusnya pilihan profesi dosen itu harusnya menjadi yang terakhir.
Maaf, saya <u>benar-benar</u> sama sekali tidak bermaksud menyinggung
profesi dosen. Saya cuma membuka pandangan, harusnya yang menjadi
target pertama adalah menjadi profesional di bidangnya dan menjadi
nomor satu! Kalau pulang ke Indonesia dan menjadi dosen, harus
<u>berani</u> menjadi agen perubah di Indonesia.

> Mungkin harus dikasih tahu,kalau tertariknya dengan XYZ "oracle"
> menanti anda,kalau tertarik dengan "abc" Intel dan AMD menanti
> anda,kalau tertarik dengan "xxx" Nvidia atau National Semiconductor
> menanti anda :)

Sip, saya juga sudah mulai manas-manasin temen-temen dengan membuka
percakapan, "Gimana kabar Intel Malaysia hari ini? Kapan pindah ke
Silicon Valley? Wah asyik dong gaji gede dan bekerja sesuai dengan ilmu
yang dipelajari" Cuma saya pikir saya harus adil juga. Saya imbangi
juga dengan konsekuensi sosial yang harus diterima ketika memilih untuk
bekerja di LN. Seperti: budaya sosial-masyarakat yang berbeda, iklim
kerja, tekanan kerja, faktor keluarga, jauh dari keluarga, bagaimana
membesarkan anak-anak, lalu definisi kebenaranan apakah kebenaran itu
berarti mayoritas, dll.

Untuk lebih tepatnya, sepertinya Bang Carlos yang lebih kompeten untuk
cerita lebih detail disini. ;)

> Carlos
Zaki Akhmad

James A

unread,
Jan 6, 2006, 3:29:02 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
--- adi <a...@postpi.com> wrote:
> masalah yang dituduhkan sama:
> - mahasiswa kurang kritis
> - mahasiswa salah pilih
> - mahasiswa kurang motivasi
> - mahasiswa malas
> - mahasiswa maunya minta disuapin
> - mahasiswa yang begini-begitu pokoknya bukan salah saya

Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?

- Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih tugas)
- Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
- Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
- Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang "aneh2" cuma bisa
plonga-plongo)
- Gak bisa dibantah, gampang marah, gak ada selera humor sama sekali
- dst.

Pernah gak hal ini dipelajari?

Pernah gak dibikin survey ke mahasiswa ttg. hal ini?

Apakah metode pengajarannya menarik? attractive? bisa men-stimulasi minat belajar?

Pengalaman kuliah dulu, banyak sekali dosen yang mirip kriteria di atas. Kadang mikir, ngapain
masuk kelas! Baca bukunya aja mungkin lebih menarik.

Kondisi yang seperti ini membuat mahasiswa jadi "terlatih" seperti sekarang, terlatih untuk
"meniru" dosennya !

Mohammad DAMT

unread,
Jan 6, 2006, 4:20:28 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
Pada hari Jumat, tanggal 06/01/2006 pukul 00:29 -0800, James A menulis:
> Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
>
> - Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih tugas)
> - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
> - Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
> - Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang "aneh2" cuma bisa
> plonga-plongo)
> - Gak bisa dibantah, gampang marah, gak ada selera humor sama sekali
> - dst.

...

> Pengalaman kuliah dulu, banyak sekali dosen yang mirip kriteria di atas. Kadang mikir, ngapain
> masuk kelas! Baca bukunya aja mungkin lebih menarik.

Yang ini setuju sekali, ceritanya dulu pernah ngalami ada pelajaran yang
gurunya cuma masuk dua kali selama satu semester, ya dua kali, di awal
dan di akhir semester! Tapi ya gapapa orang saya akhirnya dapat A sih
*-P
Oh ya pertemuan terakhir itu bukan di kelas, tapi di rumah makan.

Tapi ada koleganya yang membela diri, "emang dosen ga boleh cari makan?"
begitu katanya di depan kelas.

Budi Rahardjo

unread,
Jan 6, 2006, 4:46:38 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, adi <a...@postpi.com> wrote:

> bagaimana kalau perguruan tinggi melakukan test-case, pakai sistem
> gugur?
>
> - terima bbrp orang yang berminat (gratis)
> - pakai sistem gugur, kurikulum ketat
> - lulus langsung kerja

usulan pak adi ini pernah juga didiskusikan.
jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut:
- bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga
sehingga tidak bisa dibuat main-main
- kalau sudah masuk terus gugur, tempat yang terpakai
menjadi terbuang percuma

btw, waktu itu pun yang kami usulkan adalah bukan calon
mahasiswa sembarang, melainkan yang sudah jadi juara
olimpiade! (sudah pasti pinter2)
jawabannya kira-kira seperti di atas. saya jadi melongo...
herman ... eh, heran.
[ya akhirnya anak2 juara tersebut diambilin perguruan
tinggi lain.]

oh ya, ada juga jawaban lain:
- kalau mau masuk perguruan tinggi *ATURANNYA* adalah
mengikuti testing. jadi siapa pun harus ikut testing
dan mengikuti syarat2nya.

saya pun geleng-geleng kepala. hebat sekali aturan masuk
perguruan tinggi ya? kayak kitab suci saja yang tidak
bisa diubah.

jadi ... saya dukung ide pak adi, tapi ... hik hik hik...
nampaknya masih banyak hambatannya pak :(

-- budi

Budi Rahardjo

unread,
Jan 6, 2006, 4:52:24 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, adi <a...@postpi.com> wrote:
> Barangkali biaya kuliah di
> perguruan tinggi negeri yang jauh lebih mahal dari perguruan tinggi
> swasta hanya ada di Indonesia.

hi hi hi ... tidak semua kan pak?
(saya masih sering tanda tangan permohonan beasiswa mahasiswa
yang penghasilan orang tuanya hanya rp 1 juta/bulan, anak 3 orang.)
oh ya, kami masih punya mahasiswa yang hanya sanggup beli
makan dua kali sehari (atau bahkan 1 kali sehari).

saya pernah usul ke perguruan tinggi saya:
buat prinsip berikut menjadi prinsip perguruan tinggi:

tidak boleh ada mahasiswa yang gagal kuliah
hanya karena tidak sanggup membayar uang kuliah

[perguruan tinggi *bertanggungjawab*, ya ... bertanggungjawab,
mencarikan dana bagi mahasiswa seperti itu.]
hasilnya? tidak digubris (dan mungkin ditertawakan).

tapi di belakang layar, banyak beasiswa untuk mahasiswa yang
tidak mampu kok.

-- budi

adi

unread,
Jan 6, 2006, 10:36:04 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On Tue, Jan 03, 2006 at 09:05:49PM +0700, Rahmat M Samik-Ibrahim wrote:
> Berikut arsip pengalaman "pelajaran membaca artikel ilmiah"
> yang berlangsung semester yang lalu. Pelajaran ini diikuti
> secara "setengah mati" oleh 23 perserta. Artikel yang saya
> anggap "gampang" ternyata masih sangat sulit bagi
> yang tidak biasa membaca artikel ilmiah.

dulu, kuliah metodologi penelitian 2 sks, statistika 1 sks. dua-duanya
sering bolos, bahkan untuk statistika, waktu ujian saya tulis ulang
soalnya doang, terus dikumpulkan sehingga cuman dapat nilai D (dosennya
berhati mulia, tidak terasa ybs menjadi salah satu orang yang
berpengaruh dalam hidup saya, bukan karena kuliahnya tapi karena cerita
yang lain dan menjadi boss saya). akhirnya karena malu sama boss, ya
sudah diulang dan dapat A. critical appraisal untuk research papers
jelas tidak saya dapat dari kuliah di atas, tetapi atas bimbingan
seseorang yang sangat berkepribadian (shg saya manut). jadi, tidak heran
kalau teman-teman seangkatan rata-rata buta soal ini (IMHO).

hasil akhir analisis kritis makalah, seingat/menurut saya, adalah
kemampuan membaca (tidak harus membaca cepat) dan memahami hal-hal sbb:
- apakah makalah menyebutkan masalah dengan jelas
- apakah makalah didukung oleh landasan teori yang kuat
- apakah makalah menggunakan metode riset yang tepat
- apakah inferensi (kalau ada) dilakukan dengan benar
- apakah kesimpulan berdasar (riset yang dilakukan)
- apakah dilakukan inferensi di luar yang bisa didapat dari metode riset
yang digunakan
- apakah pengambilan kesimpulan di luar yang bisa diambil dari metode
riset yang digunakan (fallacy)
- apakah referensi dan jumlah referensi yang digunakan relevan
- potensi bias apa saja
- dst..dst..dst..

banyak sih, kalau tidak salah ada 2 halaman kwarto kalau diketik 1 1/2
spasi. pada dasarnya berisi point-point yang tidak benar-benar eksklusif
satu sama lain.

jadi pada prinsipnya, analisis kritis makalah bertugas menilai apakah
suatu makalah tsb. bisa dipercaya untuk digunakan sesuai keperluan.
bukan sekedar: wah .. dosennya asik karena bersedia menyediakan kopi
walaupun harus menunggu dulu sampai bbrp menit sampai dispensernya jadi
hangat lagi :-) atau, ah .. artikel itu sulit, nah .. yang ini mudah,
yang ini asik krn menyebutkan ternyata spiderman pernah juga mengalami
cinta monyet.

guru saya sendiri mengeluh, kenapa setelah orang bekerja (dokter) jarang
sekali mengakses jurnal-jurnal ilmiah. menurut beliau, itu karena
'demand' tidak ada, maksudnya: baca jurnal/tidak, masih bisa makan.
padahal, mampu membaca jurnal itu tidak saja berguna bagi peneliti.

saya kurang tahu apa saja sih lingkup di bidang IT (SIM) secara
akademis, tapi kalau sampai 3 sks cuman menghasilkan cerpen,
kemungkinan:
- kurang penugasan rumah: cari jurnal, minta reprint, menterjemahkan
kata-kata sulit, dulu saya dari nol dikenalkan (diperkosa) untuk
menterjemahkan kunci determinasi untuk diagnosis penyakait gout
arthritis, yang setiap kali tatap muka (ini informal lho, bukan
kuliah), kata-kata tidak punya otak, otak anda di mana, ndeso sama
komputer saja ndak ngerti (padahal cuman dipamerin WS6, nggak tega
saya mau ngetawain hi..hi..)
- terlalu banyak dijejalkan makalah dalam 1 sessi
- 'dipaksa' membaca cepat

tulisan ini semata-mata hanya berdasar ingatan > 10 thn yang lalu.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

adi

unread,
Jan 6, 2006, 10:57:39 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, Jan 06, 2006 at 04:52:24PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> [perguruan tinggi *bertanggungjawab*, ya ... bertanggungjawab,
> mencarikan dana bagi mahasiswa seperti itu.]
> hasilnya? tidak digubris (dan mungkin ditertawakan).

itulah .. perlu pengukuran public accountability untuk PT :-)
menurut hemat saya, semua harus sistemik, tidak bisa selalu bergantung
pada volunteer atau donasi ...

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

adi

unread,
Jan 6, 2006, 11:05:10 AM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, Jan 06, 2006 at 04:46:38PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut:
> - bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga
> sehingga tidak bisa dibuat main-main
> - kalau sudah masuk terus gugur, tempat yang terpakai
> menjadi terbuang percuma
...

> saya pun geleng-geleng kepala. hebat sekali aturan masuk
> perguruan tinggi ya? kayak kitab suci saja yang tidak
> bisa diubah.

kalau di kepala saya, perguruan tinggi itu seperti miniatur negara, ada
pejabat, yang ada yang pinter ada yang idiot :-)

harus mau 'berpolitik' di kampus, _harus_ rajin mengurus kenaikan
pangkat, dan satu hal yang penting, harus bisa mencetak kader.

menjadi agent perubahan itu panggilan, jadi ya harus berjuang :-)
talenta itu amanah, kalau berkembang dapat bonus dua kali lipat, kalau
tidak dipakai, apa yang ada sekarang akan diambil semua dan dihitung
sebagai hutang.

omdo pak :-) soalnya orang luar, anggap saja sebagai support.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 6, 2006, 11:47:25 AM1/6/06
to teknologia
>
> india cukup cerdik, barangkali tidak sampai gratis, tetapi sekolah di
> sana murah, hasilnya? bisa kita lihat sendiri.
>

http://afsyuhud.blogspot.com/2005/11/indonesian-president-in-india-6-our.html

Langsung saja ya,kalau anda (maksudnya bapak2 di milis teknologia ini)
punya anak yang segera lulus SMA *saat ini*,mau dikuliahkan dimana
mengingat PTN (terlalu) mahal,skrg abad globalisasi(termasuk
pendidikan) dan setelah melihat seluruh perkembangan ? :-)

Buat saya pribadi,agak sulit untuk tidak mempertimbangkan universitas
di India karena biayanya yang murah dan kualitas tinggi apalagi setelah
mengetahui masuk MIT mungkin lebih mudah dibanding IIT.

Comments ?

Carlos
ps: om Adi,sorry salah kirim.

Made Wiryana

unread,
Jan 6, 2006, 1:11:54 PM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, adi <a...@postpi.com> wrote:

Saya kurang tahu apakah ini salah satu tradisi utk membentuk accountability di PT atau tidak, tapi di tempat saya (Gunadarma), biasanya  ada rapat kerja semesteran (sebagian besar bagian datang) dan di sana kalau kita ada pendanaan baru, pengembangan baru harus menyajikan di depan semua orang.  

Siap siap aja ditanyain, koq mahal, koq segitu. Begitu juga kalau mengajukan alat baru untuk Lab akan ditanya ditail berapa biayanya, berapa mahasiswsa yang akan pakai, kapan rusaknya, kapan balik modal (dalam arti digunakan secara total).

Jadi misal orang jurusan sastra tahu jurusan teknik minta Lab komputer baru, dan ada  fasilitas tersisa, yang bisa digunakan.  Di tempat saya biasa Fakultas sastra pakai komputer di Fakultas Komputer dan ini bukan karena per-orangan, tapi kelembagaan.

IMW


Made Wiryana

unread,
Jan 6, 2006, 1:13:59 PM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, adi <a...@postpi.com> wrote:


harus mau 'berpolitik' di kampus, _harus_ rajin mengurus kenaikan
pangkat, dan satu hal yang penting, harus bisa mencetak kader.


Di tempat saya nggak usah sibuk-sibuk ngurusin kenaikan pangkat, sudah ada orang yang ditugasin untuk mengurusi itu.  Walau jumlah tenaga administratif minimal, tapi ada yang ngurusin.

Itu perlunya komputer :-)

IMW

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 6, 2006, 1:15:43 PM1/6/06
to teknologia
Made Wiryana wrote:
> On 1/6/06, adi <a...@postpi.com> wrote:
> >
> >
> > On Fri, Jan 06, 2006 at 04:52:24PM +0700, Budi Rahardjo wrote:
> > > [perguruan tinggi *bertanggungjawab*, ya ... bertanggungjawab,
> > > mencarikan dana bagi mahasiswa seperti itu.]
> > > hasilnya? tidak digubris (dan mungkin ditertawakan).
> >
> > itulah .. perlu pengukuran public accountability untuk PT :-)
> > menurut hemat saya, semua harus sistemik, tidak bisa selalu bergantung
> > pada volunteer atau donasi ...
>
>
> Saya kurang tahu apakah ini salah satu tradisi utk membentuk accountability
> di PT atau tidak, tapi di tempat saya (Gunadarma), biasanya ada rapat kerja
> semesteran (sebagian besar bagian datang) dan di sana kalau kita ada
> pendanaan baru, pengembangan baru harus menyajikan di depan semua orang.
>

Lho,memangnya selama ini ada yang *tidak* seperti itu Pak Made ? :-)

> Siap siap aja ditanyain, koq mahal, koq segitu. Begitu juga kalau mengajukan
> alat baru untuk Lab akan ditanya ditail berapa biayanya, berapa mahasiswsa
> yang akan pakai, kapan rusaknya, kapan balik modal (dalam arti digunakan
> secara total).
>
> Jadi misal orang jurusan sastra tahu jurusan teknik minta Lab komputer baru,
> dan ada fasilitas tersisa, yang bisa digunakan. Di tempat saya biasa
> Fakultas sastra pakai komputer di Fakultas Komputer dan ini bukan karena
> per-orangan, tapi kelembagaan.

Pertanyaan yang sama juga saya ingin saya tanyakan,seharusnya yang
seperti itu kan sudah ada by-default ( gak perlu termasuk dalam S.O.P.
segala)


Carlos

Anto Satriyo Nugroho

unread,
Jan 6, 2006, 3:41:21 PM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
adi wrote:
> hasil akhir analisis kritis makalah, seingat/menurut saya, adalah
> kemampuan membaca (tidak harus membaca cepat) dan memahami hal-hal sbb:
> - apakah makalah menyebutkan masalah dengan jelas
> .......deleted.....

> - apakah referensi dan jumlah referensi yang digunakan relevan
> - potensi bias apa saja
> - dst..dst..dst..

Pak Adi, daftar pertanyaan ini adalah format umum yang harus diisi
saat seseorang ketika diminta bertugas sebagai reviewer suatu journal.
Beberapa kali saya mereview paper, dan walaupun journal-nya berlainan,
rata-rata format reply-nya hampir sama. Item-itemnya seperti yang di
tuliskan Pak Adi di atas.

Satu hal yang disepakati bersama adalah saat membaca journal, jangan
terlalu percaya pada isinya. Kalau pada data/hasil eksperimen,
barangkali bolehlah kita percaya 70%, tapi kalau terhadap diskusinya
tidak perlu lebih dari 50%. Magic number ini sekedar ilustrasi saja.
Hal itu dikarenakan diterimanya paper dalam suatu journal sangat
bergantung pada kepiawaian penulis-nya dalam mengemas ide. Kadang ide
sederhana pun kalau dapat ditulis dengan bagus, bisa jadi paper yang
menarik. Eksperimen tidak mungkin sempurna dan selalu ada lubang-lubang
kelemahannya. Penulis yang pandai, sanggup menempatkan secara tepat
pembahasan mengenai kelemahan tadi sehingga membuat alur diskusi menarik
dan memiliki nilai ilmiah yang tinggi.

_____________________________________________________________________________________________
Anto Satriyo Nugroho, Dr.Eng
E-mail : nug...@life.chukyo-u.ac.jp, asnu...@ieee.org
URL : http://www.asnugroho.net/ Tel. +81-565-46-6638 Fax. +81-565-46-1299
- School of Life System Science & Technology, Chukyo University, Toyota-Japan (Visiting Prof.)
- Agency for the Assessment and Application of Technology (P3TIE-BPPT), Jakarta-Indonesia

--------------------------------------
Yahoo! Mail - supported by 10million people
http://pr.mail.yahoo.co.jp/mail_pr/

baskara

unread,
Jan 6, 2006, 6:56:09 PM1/6/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/7/06, Anto Satriyo Nugroho <asnu...@gmail.com> wrote:

> Hal itu dikarenakan diterimanya paper dalam suatu journal sangat
> bergantung pada kepiawaian penulis-nya dalam mengemas ide. Kadang ide
> sederhana pun kalau dapat ditulis dengan bagus, bisa jadi paper yang
> menarik. Eksperimen tidak mungkin sempurna dan selalu ada lubang-lubang
> kelemahannya. Penulis yang pandai, sanggup menempatkan secara tepat
> pembahasan mengenai kelemahan tadi sehingga membuat alur diskusi menarik
> dan memiliki nilai ilmiah yang tinggi.

Paper saya ditolak 2x juga karena masalah kelemahan di kepiawaian penulisan. :-(
Dengan ide yang sama, hanya mengubah cara penulisan, akhirnya setelah
3x submission, bisa diterima di jurnal. :-)
Intinya ada di bagian Introduction. Kalau bagian ini tidak menarik
dibaca, bubar jalan.

Made Wiryana

unread,
Jan 7, 2006, 3:14:55 AM1/7/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, Muhamad Carlos Patriawan <cpat...@gmail.com> wrote:

Made Wiryana wrote:
>
> Saya kurang tahu apakah ini salah satu tradisi utk membentuk accountability
> di PT atau tidak, tapi di tempat saya (Gunadarma), biasanya  ada rapat kerja
> semesteran (sebagian besar bagian datang) dan di sana kalau kita ada
> pendanaan baru, pengembangan baru harus menyajikan di depan semua orang.
>

Lho,memangnya selama ini ada yang *tidak* seperti itu Pak Made ? :-)

Silahken tanya kampus-kampus lain, apakah misal jurusan kimia ketika semester mendatang tahu bahwa jurusan elektro minta pendanaan untuk lab komputer baru

Termasuk apakah tahu hitung-hitungan pendanaan itu.

> Jadi misal orang jurusan sastra tahu jurusan teknik minta Lab komputer baru,
> dan ada  fasilitas tersisa, yang bisa digunakan.  Di tempat saya biasa
> Fakultas sastra pakai komputer di Fakultas Komputer dan ini bukan karena
> per-orangan, tapi kelembagaan.

Pertanyaan yang sama juga saya ingin saya tanyakan,seharusnya yang
seperti itu kan sudah ada by-default ( gak perlu termasuk dalam S.O.P.
segala)

Silahkan bermain-main ke kampus, terutama kampus yang biasanya pasrah dg DIP saja

IMW

adi

unread,
Jan 7, 2006, 5:12:57 AM1/7/06
to tekno...@googlegroups.com
On Fri, Jan 06, 2006 at 12:29:02AM -0800, James A wrote:
> Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
...

> Kondisi yang seperti ini membuat mahasiswa jadi "terlatih" seperti sekarang, terlatih untuk
> "meniru" dosennya !

sebenarnya ini masalah lain (yang harus diselesaikan juga). kalau
dosennya ndak bener terus mahasiswa jadi ndak bener, ini seperti
pernyataan dalam bahasa latin: mbulet ae gak mari-mari (seperti benang
kusut, tidak bisa diselesaikan), bubar jalan :-)

tapi memang seringkali dalam sivitas akademika, mahasiswa dilabel dengan
kasta yang lebih rendah.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 7, 2006, 3:47:31 PM1/7/06
to teknologia
Dari sudut pandang lain,saya bingung sebenarnya jika dikatakan ada
masalah dengan mahasiswa,parameternya apa ? apakah karena melihat
kilasan kejadian di ruang kampus atau outputnya nanti setelah lulus,
berilmu dan kemudian bekerja dan bermanfaat untuk orang lain ?

Mungkin pandangan saya terlalu sempit, sekitar 8 tahun lalu
persisnya,saya di Jakarta membangun "team" saya yang hampir semuanya
bekas anak didiknya Pak Samik (fasilkum ui),terus terang saya gak
pernah melihat "something wrong" meskipun setelah saya bandingkan
dengan lulusan-lulusan India yang sering saya interview disini.Setelah
satu dekade saya malah impressed dengan apa yang mereka kerjakan
sekarang,untuk ukuran "dunia" sudah cukup membanggakan sebenarnya.

Singkatnya,team yg saya bangun di Indonesia dulu secara teknis
kualitasnya boleh dibilang sama dengan kualitas team saya (yang
sebagian saya develop juga) di persh hitek di silicon valley. Mungkin
bedanya,mentalnya saja yang lulusan India sedikit lebih tahan baja :-)

Sebetulnya,permasalahan nyata yang saya lihat adalah "Tidak ada
industrinya buat orang2 pinter lulusan universitas komputer ini di
Indonesia sehingga potensinya tidak bisa 100% tergali" alias harus
brain-drain agar potensinya bisa tergali.

Tapi,itu kan kisah jaman dulu ... he he he :-) sekarang bapak2 yg di
milis ini yang lebih tahu kondisi sekarang.

Carlos

Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 7, 2006, 4:24:39 PM1/7/06
to teknologia
> profesi dosen. Saya cuma membuka pandangan, harusnya yang menjadi
> target pertama adalah menjadi profesional di bidangnya dan menjadi
> nomor satu! Kalau pulang ke Indonesia dan menjadi dosen, harus
> <u>berani</u> menjadi agen perubah di Indonesia.

Jadi professional ini pun ada tips and tricknya.Hal dibawah adalah
input strategis.

Saya berikan input pelan2 kenapa negeri yg tadinya susah seperti India
bisa 'menguasai' teknologi tinggi,ini bisa dipakai untuk mengejar
ketertinggalan Indonesia di penguasaan iptek tanpa perlu minta hutang
luar negeri,tapi susahnya hal ini harus dijalankan oleh individu
masing2.

1. Pilih Industri yang punya nilai strategis di jangka panjang ,seperti
Infrastruktur,Biotechnology, Nuklir dst.

2. Pilih persh atau tempat riset innovator/leading edge technology yang
masih terus growing teknologinya,misalnya sekarang dan di masa depan
teknology yg bakal terpakai adalah Ethernet dan Sonet,jangan kerja di
persh pengembang token ring (contoh extrim). Kalau memungkinkan,jangan
bekerja terlalau lama di vendor yang settled, join persh startup yang
punya visi,misi dan ego tinggi (persh macam ini sering kali bisa attact
top talent R&D seperti stoke: http://www.stoke.com/people/index.html )

3. Waktu di persh,jangan kelamaan bekerja di sales engineering atau
kerjaan "jualan" related,yang paling bagus untuk menguasai teknologinya
sebenarnya adalah di bagian riset dan pengembangan "core development",
misalnya kalau persh bikin router,cari kerjaan yang responsible tentang
internal router arsitektur,gimana asicnya bekerja,gimana komunikasi
internal antar masing2 card. Kalau bisa jangan kerja di bagian yang
"gampangan" seperti web-based management atau snmp tools :)

Nah hebatnya orang2 India,mereka "punya mata elang" sehingga bisa
melihat tempat strategis apa yang mereka bisa "steal" atau curi,jadi
setelah mereka kuasai teknologinya,otomatis terjadi
ketergantungan/dependensi dengan kemampuan mereka ; ini salah satu
rahasia gimana India bisa bikin negara maju tekuk lutut :)

Carlos

Zaki Akhmad

unread,
Jan 7, 2006, 6:23:40 PM1/7/06
to teknologia

Muhamad Carlos Patriawan wrote:

> Nah hebatnya orang2 India,mereka "punya mata elang" sehingga bisa
> melihat tempat strategis apa yang mereka bisa "steal" atau curi,jadi
> setelah mereka kuasai teknologinya,otomatis terjadi
> ketergantungan/dependensi dengan kemampuan mereka ; ini salah satu
> rahasia gimana India bisa bikin negara maju tekuk lutut :)
>
> Carlos

Terimakasih Bang Carlos untuk kesediaanya berbagi tips dan triknya
bagaimana caranya menjadi profesional. Dan saya percaya hal-hal diatas
harus dilakukan dengan fokus, konsisten dan kerja keras. Satu lagi:
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Barangkali saatnya mengurangi
waktu tidur?

Zaki Akhmad
http://www.zakiakhmad.info

adi

unread,
Jan 7, 2006, 7:02:59 PM1/7/06
to tekno...@googlegroups.com
On Sat, Jan 07, 2006 at 05:41:21AM +0900, Anto Satriyo Nugroho wrote:
> Satu hal yang disepakati bersama adalah saat membaca journal, jangan
> terlalu percaya pada isinya. Kalau pada data/hasil eksperimen,
> barangkali bolehlah kita percaya 70%, tapi kalau terhadap diskusinya
> tidak perlu lebih dari 50%. Magic number ini sekedar ilustrasi saja.
> Hal itu dikarenakan diterimanya paper dalam suatu journal sangat
> bergantung pada kepiawaian penulis-nya dalam mengemas ide.

karena editor/redaksi kurang memahami bidang yang ditulis :-) makanya
untuk AKM (analisis kritis makalah), kegiatan paling penting justru
kegiatan di luar tatap muka (kuliah) atau pun diskusi/seminar.
bagaimana mungkin bisa memahami reasoning kalau tidak paham teorinya,
bagaimana 'mencela' metode yang digunakan kalau tidak tahu soal
metodologi penelitian spt itu dst..dst.. singkat kata, guru saya bilang,
AKM adalah cari-cari kesalahan. jadi, sebenarnya latihan AKM
ini secara alami memang harus pelan-pelan, yang penting ngerti dulu,
baru dilatih melakukan dengan cepat. sebenarnya, kalau sudah dilakukan
bbrp kali, orang akan punya 'refleks' sehingga mampu melakukan dengan
cepat. seperti dulu ada seorang shinpei kyokushinkai yang rajin menegur
muridnya kalau memukul dengan sepenuh tenaga, dia bilang: yang penting
tekniknya benar dulu! baru dikasih tenaga sedikit-demi-sedikit.

saya jadi ingat dulu ada seseorang yang kebingungan mencari-cari saya
(dulu hidup seperti kalong) karena ada satu pertanyaan yang tidak bisa
dijawab untuk mempertahankan disertasi, waktu itu memang saya yang
membantu dalam hal analisis data (structural eq modelling). setelah
ketemu, saya jadi bingung sendiri karena ternyata pertanyaannya yang
keliru (pertanyaan yang salah kalau dijawab pasti salah :-) saya bilang,
wah ini profesornya ndagel (ngelawak), jangan-jangan dikerjain :-) dia
bilang: tidak, saya sudah jelaskan seperti yang mas omongkan (soal
goodness-of-fit test), tapi pembimbing ngeyel. ya sudah, jangan dijawab,
bilang saja kalau pertanyaannya keliru.

bisa juga krn sentimen :-) barangkali masih ada yang ingat soal
"student's t-test", waktu itu di satu majalah statistika, eyang fisher
yang jadi editornya, berhubung gosset stlh bbrp kali submit artikel
ditolak (gosset ini asuhan musuh dan mantan sahabat (!) fisher, karl
pearson). akhirnya, untuk men-submit artikel mengenai distribusi t tsb,
gosset menggunakan pseudonim 'student'. dan artikelnya muncul :-)

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Zaki Akhmad

unread,
Jan 7, 2006, 7:02:49 PM1/7/06
to teknologia
James A wrote:
> Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?

Oke-oke saja sih dibalik. Walau saya pribadi sih lebih suka melihat
dari sisi mahasiswa. Lha wong belum pernah ngerasian rasanya jadi
dosen. Padahal saya ada keinginan untuk jadi dosen lho. Cuma takut
kuliah S2 dan S3 nya. S1 aja belum selesai-selesai :((

> - Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih tugas)
> - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
> - Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
> - Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang "aneh2" cuma bisa
> plonga-plongo)
> - Gak bisa dibantah, gampang marah, gak ada selera humor sama sekali
> - dst.
>
> Pernah gak hal ini dipelajari?

Setiap mahasiswa unik, hal ini berlaku juga untuk dosen. Setiap dosen
unik. Setiap dosen memiliki cara mengajarnya masing-masing. Seorang
dosen adalah seorang peneliti sekaligus pendidik. Sayangnya kedua
profesi ini ternyata membutuhkan karakter yang berbeda. Seorang dosen
dan peneliti tentu sama-sama pintar. Misal, mampu menyelesaikan
pendidikan hingga tingkat S3. Namun yang sering dikeluhkan dari
kacamata mahasiswa adalah, "Wah dosen mah sudah banyak yang pintar Zak.
Gw mau nya yang pintar ngajar juga".

Pintar mengajar sederhananya adalah memiliki kemampuan komunikasi yang
baik. Kemampuan komunikasi yang baik ini penting untuk transfer ilmu.
Kalau baca blognya Pak Budi yang kebingungan bagaimana cara mengajar
mahasiswa, bisa jadi saya tambah bingung lagi. Kalau begitu dicukupkan
saja bingungnya. Pokoknya kalau dosen sudah mampu membangkitkan
semangat bara api di dalam diri mahasiswa, bagi saya itu sudah
berhasil. Entah si mahasiswa jadi apa saja: tetap di bidangnya, atau
di luar bidangnya. Yang penting sang mahasiswa bisa menemukan "legenda
pribadi"nya (bagi yang dimaksud dengan legenda pribadi, bisa baca buku
The Alchemist, Paulo Coelho).

> Pernah gak dibikin survey ke mahasiswa ttg. hal ini?
>
> Apakah metode pengajarannya menarik? attractive? bisa men-stimulasi minat belajar?

Kalau di ITB, di setiap akhir semester ada kuisioner Bang James. Tapi
lagi-lagi mahasiswa nya bandel. Ngisinya seenaknya saja. Jadi gagal-lah
sistem feedback ini. Saya cerita beberapa poin dari kuisioner ini ya.
Kurang lebih ini dia......

* Apakah tingkat kehadiran Anda dalam kuliah ini tinggi?
* Apakah Anda mengerti setelah mengikuti kuliah ini?
* Apakah dosen menyiapkan kuliah dengan baik?
* Apakah alat bantu seperti OHP/In-focus digunakan dalam perkuliahan?
* Apakah dosen memberikan umpan balik mengenai ujian/tugas?

Pertanyaan-pertanyaan diatas di isi dengan memilih jawaban berdasarkan
5 derajat ke-setuju-an/ke-tidak-setuju-an. Dimulai dari sangat setuju
dan sangat tidak setuju

> Pengalaman kuliah dulu, banyak sekali dosen yang mirip kriteria di atas. Kadang mikir, ngapain
> masuk kelas! Baca bukunya aja mungkin lebih menarik.

Kok kalau saya, lebih tertarik baca buku sosial ya. :D

> Kondisi yang seperti ini membuat mahasiswa jadi "terlatih" seperti sekarang, terlatih untuk
> "meniru" dosennya !

Saya masih percaya kok tetap masih ada dosen yang memang berdedikasi
sungguh-sungguh menciptakan SDM yang unggul. Sekaligus menikmati
profesi yang bagi saya mulia ini: turut mencerdaskan kehidupan bangsa!
Bagi saya dosen yang datang tepat waktu mengajar, memberikan kuliah
dengan menarik, memberikan tugas secukupnya, memberi nilai paling jelek
C (untuk sarjana) dan D (untuk sarjana muda), itu sudah lebih dari
cukup.

Zaki Akhmad

unread,
Jan 7, 2006, 7:14:08 PM1/7/06
to teknologia
Budi Rahardjo wrote:
> usulan pak adi ini pernah juga didiskusikan.
> jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut:
> - bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga
> sehingga tidak bisa dibuat main-main
> - kalau sudah masuk terus gugur, tempat yang terpakai
> menjadi terbuang percuma

Betul sekali Pak Budi :)

Saya pernah baca buku (maaf lupa persis judulnya), "Dibalik Pembangunan
ITB, Hal yang Tak Terungkap", disitu dijelaskan: Pak Wiranto memimpikan
ITB dengan zero-drop-out. Jadi sebenarnya ITB itu rugi juga kalau ada
mahasiswa-nya yang DO. Makannya, opsi yang diberikan oleh ITB adalah
opsi untuk mengajukan surat permohonan mengundurkan diri bagi mahasiswa
yang sudah melewati batas waktu masa studi atau karena IP nya dibawah
standar. Kalau begini, berarti sebenarnya posisi mahasiswa dengan PT
sama kuat dong ya. Mahasiwa butuh kuliahnya selesai, PT butuh mahasiswa
untuk diselesaikan kuliahnya.

Tapi gimana lagi kalau memang mahasiswa-nya sendiri yang memang merasa
tidak cocok kuliah? Apakah harus dipaksakan juga? Tentu tidak boleh
dipaksa kan ya.

> -- budi

Zaki Akhmad

Made Wiryana

unread,
Jan 8, 2006, 3:52:33 AM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, Mohammad DAMT <md...@gnome.org> wrote:

> - Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih tugas)
> - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
> - Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
> - Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang "aneh2" cuma

Yang ini setuju sekali, ceritanya dulu pernah ngalami ada pelajaran yang
gurunya cuma masuk dua kali selama satu semester, ya dua kali, di awal
dan di akhir semester! Tapi ya gapapa orang saya akhirnya dapat A sih
*-P
Oh ya pertemuan terakhir itu bukan di kelas, tapi di rumah makan.

Kalau di kampus saya itu akan dicegah, karean setelah dosen 2 kali tidak hadir, maka akan ada yang menelfon dan bertanya, kalau tidak bisa hadir lagi akan digantikan oleh dosen pengganti.

Sebab kalau tidak mahasiswa bisa protest keras

IMW

Made Wiryana

unread,
Jan 8, 2006, 3:53:53 AM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/7/06, Muhamad Carlos Patriawan <cpat...@gmail.com> wrote:

Dari sudut pandang lain,saya bingung sebenarnya jika dikatakan ada
masalah dengan mahasiswa,parameternya apa ? apakah karena melihat
kilasan kejadian di ruang kampus atau outputnya nanti setelah lulus,
berilmu dan kemudian bekerja dan bermanfaat untuk orang lain ?

Boss, namanya mahasiswa itu BUKAN cuma mahasiswa PTN :-). Saran saya jalan-jalan ke PTS-PTS di daerah, atau di ibukota

Anda akan mendapatkan gambaran siapa, bagiamana mahasiswa itu.

Lha pas dikasih tugas berat, jawabnya sering "maaf pak tadi malam saya kecapean abis narik" (lha kerjaannya narik angkot)

IMW

Made Wiryana

unread,
Jan 8, 2006, 3:55:00 AM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/8/06, Zaki Akhmad <zakia...@gmail.com> wrote:

> Pengalaman kuliah dulu, banyak sekali dosen yang mirip kriteria di atas. Kadang mikir, ngapain
> masuk kelas! Baca bukunya aja mungkin lebih menarik.

Kok kalau saya, lebih tertarik baca buku sosial ya. :D


Baca bukunya Postman "Teaching as subversive ......"

IMW

Made Wiryana

unread,
Jan 8, 2006, 3:51:14 AM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, James A <meer...@yahoo.com> wrote:

--- adi <a...@postpi.com> wrote:
> masalah yang dituduhkan sama:
> - mahasiswa kurang kritis
> - mahasiswa salah pilih
> - mahasiswa kurang motivasi
> - mahasiswa malas
> - mahasiswa maunya minta disuapin
> - mahasiswa yang begini-begitu pokoknya bukan salah saya


Saya jawab dari apa yang biasanya jawaban diberikan oleh si dosen kalau dilontarkan pernyataan seperti ini (ditampung dari obroloan sesama dosen)

Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?

- Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih tugas)

Gaji dosen segitu mana cukup buat hidup, buat beli buku aja udah habis :-),
 
- Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)

Mau monoton, mau menarik mahasiswanya tetap ngobrol dengan asiknya, ngapain capek-capek. 

- Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
- Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang "aneh2" cuma bisa
plonga-plongo)

Dua hal ini sering dijawab : "lha yang segitu aja mahasiswa belum tentu bisa, alias ndak bisa ngerjain soalnya, apalagi ditambahin yang lebih heboh".  Udah ah itu aja udah cukup.

 
- Gak bisa dibantah, gampang marah, gak ada selera humor sama sekali
- dst.

Mirip dg mahasiswanya, yang kalau dikritis juga sering marah :-)  Lihat saja kalau lagi demo pasti sering pakai kalimat "Pokoknya .... dst..dst"


Kondisi yang seperti ini membuat mahasiswa jadi "terlatih" seperti sekarang, terlatih untuk
"meniru" dosennya !

Mahasiswa, dosen adalah bagian masyarakat.  Mereka adalah korban masyarakat

IMW

Budi Rahardjo

unread,
Jan 8, 2006, 4:40:12 AM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
> Yang ini setuju sekali, ceritanya dulu pernah ngalami ada pelajaran yang
> gurunya cuma masuk dua kali selama satu semester, ya dua kali, di awal
> dan di akhir semester! Tapi ya gapapa orang saya akhirnya dapat A sih
> *-P
> Oh ya pertemuan terakhir itu bukan di kelas, tapi di rumah makan.

Dosen kayak gini yang harus ditumpas!
Dia memberikan nilai A karena rasa bersalah.
Daripada mahasiswa protes, kasih aja nilai A.
Semua "happy." Apa betul?

Nilai yang diwariskan oleh dosen ke siswa?
semua bisa di-cincay ... :(
kasih {duit,makan,hadiah,oleh2,sogokan} semua beres
usaha tidak penting
...


-- budi

Zaki Akhmad

unread,
Jan 8, 2006, 4:58:51 AM1/8/06
to teknologia

Made Wiryana wrote:
> Baca bukunya Postman "Teaching as subversive ......"
>
> IMW

Terimakasih Pak Made untuk referensinya. Nanti saya tambahkan di daftar
buku-buku wish-list saya deh.

Zaki Akhmad

Made Wiryana

unread,
Jan 8, 2006, 7:18:55 AM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/8/06, Zaki Akhmad <zakia...@gmail.com> wrote:

Budi Rahardjo wrote:
> usulan pak adi ini pernah juga didiskusikan.
> jawaban dari pihak sono adalah (kira2) sebagai berikut:
> - bahwa tempat di perguruan tinggi negeri sangat berharga
>   sehingga tidak bisa dibuat main-main
> - kalau sudah masuk terus gugur, tempat yang terpakai
>   menjadi terbuang percuma

Betul sekali Pak Budi :)

Saya pernah baca buku (maaf lupa persis judulnya), "Dibalik Pembangunan
ITB, Hal yang Tak Terungkap", disitu dijelaskan: Pak Wiranto memimpikan
ITB dengan zero-drop-out. Jadi sebenarnya ITB itu rugi juga kalau ada
mahasiswa-nya yang DO. Makannya, opsi yang diberikan oleh ITB adalah
opsi untuk mengajukan surat permohonan mengundurkan diri bagi mahasiswa
yang sudah melewati batas waktu masa studi atau karena IP nya dibawah
standar. Kalau begini, berarti sebenarnya posisi mahasiswa dengan PT
sama kuat dong ya. Mahasiwa butuh kuliahnya selesai, PT butuh mahasiswa
untuk diselesaikan kuliahnya.

Zero drop out akan bisa tercapai atau didekati dengan pembenahan admistrasi serta  pengelolaan kampus.

Siap nggak kampus-kampus.

IMW


Muhamad Carlos Patriawan

unread,
Jan 8, 2006, 2:12:34 PM1/8/06
to teknologia
> Lha pas dikasih tugas berat, jawabnya sering "maaf pak tadi malam saya
> kecapean abis narik" (lha kerjaannya narik angkot)

Kalau ini dibahas nanti jatuh2nya disimpulkan harusnya ada "pendidikan
murah bin gratis" di Indonesia :-)

Anyway kalau univ di Indonesia kemahalan ya mungkin lebih baik hijrah
ke India karena pendidikan disana sudah murah dan kualitas tinggi.Saya
denger2 sudah mulai banyak? orang Indonesia yang melakukan cara
ini.Mungkin rekan Fatih bisa beri gambaran.

Carlos

adi

unread,
Jan 8, 2006, 2:30:23 PM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On Sun, Jan 08, 2006 at 07:12:34PM -0000, Muhamad Carlos Patriawan wrote:
> > Lha pas dikasih tugas berat, jawabnya sering "maaf pak tadi malam saya
> > kecapean abis narik" (lha kerjaannya narik angkot)
>
> Kalau ini dibahas nanti jatuh2nya disimpulkan harusnya ada "pendidikan
> murah bin gratis" di Indonesia :-)

walaupun ada dua masalah yang terjadi secara simultan, tidak otomatis
keduanya bisa dipertentangkan.

tiap penyakit ada obatnya sendiri-sendiri.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja

Jefri Abdullah

unread,
Jan 8, 2006, 9:30:08 PM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/6/06, James A <meer...@yahoo.com> wrote:

> Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
>
> - Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih tugas)

> - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)

> - Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
> - Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain yang "aneh2" cuma bisa
> plonga-plongo)

> - Gak bisa dibantah, gampang marah, gak ada selera humor sama sekali
> - dst.

Aduh ga enak nih nyalah2x-in dosen kayak gitu, IMHO, seharusnya
mahasiswa lah yang harus dapat mengikuti cara dosen. Masa dosen yang
cuman sendiri harus bisa memenuhi keingin semua mahasiswanya. Sekedar
sharing informasi saja, saat ini saya sedang mengerjakan tugas akhir,
waktu pertama kali saya konsultasi dengan pembimbing saya, dia bilang
bahwa mungkin tidak bisa banyak membantu saya karena dia memegang
banyak project. Tapi kenyataannya beliau banyak membantu, dan bersedia
membimbing saya di tengah kesibukannya selama saya aktif untuk meminta
bimbingannya.

--
http://duke.vlsm.org
"Yet Another People Who Wants To Be Him Self"

Ronny Haryanto

unread,
Jan 8, 2006, 11:01:51 PM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On Monday 09 January 2006 13:30, Jefri Abdullah wrote:
> On 1/6/06, James A <meer...@yahoo.com> wrote:
> > Apa gak pernah dianalisa dari sisi sebaliknya ?
> >
> > - Dosen malas (jarang masuk, "ngobyek terus", kalau masuk cuma kasih
> > tugas) - Cara ngajar yang monoton ! (bikin ngantuk)
> > - Tidak kreatif (metodologi kuno dan "itu-itu" aja)
> > - Ngga update knowledge (bahan pelajarannya sudah outdated!, ditanyain
> > yang "aneh2" cuma bisa plonga-plongo)
> > - Gak bisa dibantah, gampang marah, gak ada selera humor sama sekali
> > - dst.
>
> Aduh ga enak nih nyalah2x-in dosen kayak gitu, IMHO, seharusnya
> mahasiswa lah yang harus dapat mengikuti cara dosen.

Kalo memang salah, kenapa nggak enak?

Attitude seperti ini yg menurut saya salah: guru dianggap selalu benar.

Skrg tidak penting siapa yg salah. Yg penting gimana sama2 bisa saling
memperbaiki.

Ronny

Jefri Abdullah

unread,
Jan 8, 2006, 11:44:15 PM1/8/06
to tekno...@googlegroups.com
On 1/9/06, Ronny Haryanto <ronn...@haryan.to> wrote:

> Kalo memang salah, kenapa nggak enak?

Ya, kalo salah dalam memberikan materi memang benar kita harus
memberikan argumen, maksud saya disini adalah komplen dengan cara
dosen mengajar. Menurut pendapat saya, sulit sekali seorang dosen
dapat memenuhi keinginan seluruh kelas, tentu saja akan lebih mudah
jika mahasiswanya yang dapat beradaptasi dengan cara dosen mengajar

Ronny Haryanto

unread,
Jan 9, 2006, 12:03:48 AM1/9/06
to tekno...@googlegroups.com
On Monday 09 January 2006 15:44, Jefri Abdullah wrote:
> On 1/9/06, Ronny Haryanto <ronn...@haryan.to> wrote:
> > Kalo memang salah, kenapa nggak enak?
>
> Ya, kalo salah dalam memberikan materi memang benar kita harus
> memberikan argumen, maksud saya disini adalah komplen dengan cara
> dosen mengajar. Menurut pendapat saya, sulit sekali seorang dosen
> dapat memenuhi keinginan seluruh kelas, tentu saja akan lebih mudah
> jika mahasiswanya yang dapat beradaptasi dengan cara dosen mengajar

Jadi menurut argumen di atas, karena sulit jadi mendingan sekalian tidak usah
dilakukan karena percuma, gitu? Hehehe.

Seperti saya bilang, yg penting saling memperbaiki, kalo memang selama dirasa
ada yg bisa diperbaiki, ya didiskusikan, gak perlu gak enak. Yg penting
caranya, tetap menjaga sopan, tata krama, tidak emosi, dsb.

Guru juga manusia, sama seperti kita, bisa salah. Ada bedanya antara respek
dan mengagungkan. Saya biasanya makin gak respek sama orang yg selalu
*menganggap* dirinya benar, tapi saya makin respek orang yg selalu bisa
*membuktikan* kalo dia benar pada saat diperlukan.

Ronny

Rahmat M Samik-Ibrahim

unread,
Jan 10, 2006, 11:59:14 PM1/10/06
to tekno...@googlegroups.com
Rekan-rekan pengamat milis yang berbahagia,

Terimakasih banyak atas semua tanggapan yang luar biasa
banyak dan bervariasi. Ada beberapa isyu yang muncul;
namun sayang waktu saya lagi sangat terbatas. Kalau
ada waktu, mungkin nantinya akan saya balas isyu tersebut.

Untuk sementara, saya membalas secara umum saja.
Isyu yang saya angkat ialah perihal produktivitas makalah dalam negeri
agat minim. Jangankan yang bermutu, yang tidak bermutu pun langka!
Dan jangankan menulis, membaca saja jarang!

Jadi, titik fokus saya ialah "memperkenalkan" artikel-artikel
ilmiah, plus pembuatan laporan (=menulis!) atas
pengalaman mengikuti seminar tersebut. Lihat ulang:
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/Seminar-MIS/2005/1-Pengalaman/

Apakah seminar tersebut sukses? Belum yakin. Kita ikuti saja
nasehat Mr. Tung Desem Waringin: Tidak ada salahnya untuk
terus "trial and error" dalam mencari formula yang pas untuk
membangun sebuah seminar yang sukses.

Membiasakan para mahasiswa untuk menulis, merupakan
sebuah tantangan yang harus diatasi. Oleh sebab itu, setiap ada
"kesempatan", saya meminta para mahasiwa untuk menulis.
Untuk sementara, *MUTU* di-nomor-dua-kan. Asumsinya, sesuatu
yang "tidak bermutu" dapat diperbaiki menjadi bermutu.
Namun sesuatu yang "TIDAK ADA"; sangat mustahil untuk diperbaiki.

Sebagai penutup, berikut beberapa ilustrasi karya-karya "paksa"
yang diarsipkan.

Keamanan Sistem Informasi:
=======================
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/MTI-Keamanan-Sistem-Informasi/2005/POKJA-Malam/
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/MTI-Keamanan-Sistem-Informasi/2005/POKJA-Pagi/

Pengantar Sistem Operasi dan Sistem Komputer:
=======================================
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/MTI-PSOKS/2005/

Sistem Operasi:
=============
http://free.vlsm.org/v06/Kuliah/SistemOperasi/BUKU/


--
Rahmat M. Samik-Ibrahim

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages