"wajib" gantian presentasi

11 kali dilihat
Langsung ke pesan pertama yang belum dibaca

Budi Rahardjo

belum dibaca,
7 Okt 2007, 18.27.1307/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
Saya ganti judul subyeknya.

Mengenai gantian presentasi mengenai sesuatu yang baru merupakan
hal yang sering dilakukan di luar negeri tapi jarang di Indonesia.
Dulu waktu saya kerja di research laboratory dan di kampus, di Kanada
ini merupakan kebiasaan yang bagus.

Setiap minggu, pas makan siang, ada yang gantian memberikan presentasi.
Topiknya? Apa saja yang menarik bagi sang presenter. Misalnya di
tempat saya dulu ada yang presentasi tentang:
- soal batre, kenapa dia cepat rusak, memory effect
- neural nets dilihat dari kacamata orang biologi (apa yang bisa kita
pelajari dari mereka)
- bir + cosmic ray (geblek topiknya, tapi ini menunjukkan kebebasan
dalam memilih topik)
- setup music gears dari (give your artis name here) dan teknologi
yang mereka gunakan
- sampai ke yang serius sungguhan (menggunakan moment ini untuk
menguji ide dari thesis/skripsi dia)
- ada yang mempresentasikan pemahaman dia atas paper atau buku
yang baru saja dia baca.

Tentu saja saya kebagian presentasi.

Di Indonesia saya coba mengorganisir hal yang sama. Ternyata hanya
ada dua orang yang memberikan presentasi (saya salah satunya).
Ini di kampus. Kemudian terhenti!

Di tempat kerja juga sama. Kalau nggak saya yang ngasih presentasi
ternyata nggak ada lagi yang berminat.

Kegiatan seperti ini asyik karena merupakan "jump start" untuk meningkatkan
wawasan, tapi kita tidak perlu menghabiskan waktu membaca buku atau
referensi yang salah (junk!). So little time, so many things to learn.

Mestinya kita buat acara seperti itu di acara kopdar ...

-- budi

gin...@gmail.com

belum dibaca,
8 Okt 2007, 04.28.2708/10/07
kepadateknologia
Bud,

Saya pernah ngobrol dengan satu teman yang buka kursus bahasa Inggris
di Cina. Waktu saya tanya, "kenapa gak di Indonesia?" Jawabannya dia
simple: orang Indonesia malas belajar.

Pernah juga ngobrol dengan dokter yang punya USG 4D - cool banget -
detak jantung si janin yang umur sekian minggu bisa ditonton/jadi
mpeg. Dia bilang belajar make alatnya 2-3 tahun di Eropa. Di Indonesia
cuma ada 3 alat seperti itu, harganya sebanding dengan satu mobil
jaguar. Kenapa? Jawabnya: dokter sini malas belajar.

Udah belajarnya malas, apalagi sharingnya... :)

Jam makan siang lagi - dianggap mengganggu waktu pribadinya dia...
Dulu saya sering tawarkan, siapa yang mau ikut training, hari Sabtu/
Minggu, dibayarin kantor. Banyak yang keberatan hari Sabtu/Minggunya
diambil... untuk menambah ilmunya dia sendiri...

Sad reality.

Mungkin segelintir yang bergabung di milis ini bukan tipe seperti itu
- tapi boleh juga mulai dengan bertanya pada diri sendiri:
- What new things have I learned today?
- What portion of my time / money am I spending per week/month untuk
menambah ilmu diri sendiri?

Alasan paling gampang adalah terlalu sibuk cari makan/ngerjain tugas
yang sudah diberikan.

So, tugas untuk orang akademis seperti Budi dan Boy (dan untuk orang-
tua pada anaknya) - tanamkanlah minat untuk terus menerus belajar...

Cheers,

--Eka Ginting
indo.com

Budi Rahardjo

belum dibaca,
8 Okt 2007, 06.42.2708/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, gin...@gmail.com <gin...@gmail.com> wrote:

> Udah belajarnya malas, apalagi sharingnya... :)

...
he he he
...

Ya, mungkin beda kultur saja lah. Mungkin belajarnya dengan
cara subliminal. he he he.

Saya perhatikan memang yang senang model sharing itu
adalah orang-orang yang cukup lama "kejeblos" di luar negeri.
Mereka sudah merasakan bahwa dengan sharing, malah nambah
ilmu. Aneh, tapi nyata.

Mungkin ini karena budaya makan siang bersama di kantin
(bawa makanan sendiri-sendiri) itu lazim di luar negeri, tatapi
tidak di tempat kita. Jadi beda aja situasinya.

Sedihnya ... lama-kelamaan orang yang mau sharing ini lama
kelamaan juga menjadi males, karena melihat usulannya tidak
mendapat tanggapan. Jadinya berhenti.
Nah, harusnya sih tetap semangat untuk mengadakan sharing
bersama. Gitu ...


-- budi

boy avianto

belum dibaca,
8 Okt 2007, 07.14.1608/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:
>
> On 10/8/07, gin...@gmail.com <gin...@gmail.com> wrote:
>
> > Udah belajarnya malas, apalagi sharingnya... :)
>
> Ya, mungkin beda kultur saja lah. Mungkin belajarnya dengan
> cara subliminal. he he he.

Atau dengan cara mendapat wangsit =P.


> Saya perhatikan memang yang senang model sharing itu
> adalah orang-orang yang cukup lama "kejeblos" di luar negeri.
> Mereka sudah merasakan bahwa dengan sharing, malah nambah
> ilmu. Aneh, tapi nyata.

Saya sebelum 'kejeblos' juga sudah senang sharing loh, tapi malahan
dinasehati sama yang tua-tua "Kalau punya ilmu lebih, disimpan sendiri
- nanti kalau dibagi-bagi orang lain jadi lebih pintar dari kamu terus
kamu tidak dapat apa-apa"... Nah lo?

Tapi untungnya saya kekeuh untuk terus sharing =). Karena saya percaya
otak saya itu kemampuannya terbatas, kalau semua ide atau ilmu
ditumpuk semua disitu tanpa dibagi-bagikan ke orang lain, sayanya
nanti tidak bisa naik level hehehe. Otak saya rasanya seperti pipa,
kalau disumbat malahan meledak, mendingan dibagi-bagi, nanti saya
dapat untung syukur, tidak ya sudah - memang saya cuma bisanya
ngeluarin ide tapi tidak bisa eksekusi, salah sendiri kok malahan
menyalahkan orang lain.


> Sedihnya ... lama-kelamaan orang yang mau sharing ini lama
> kelamaan juga menjadi males, karena melihat usulannya tidak
> mendapat tanggapan. Jadinya berhenti.
> Nah, harusnya sih tetap semangat untuk mengadakan sharing
> bersama. Gitu ...

Kalau saya sih biarin saja Pak Budi, yang penting otak kita terus
aktif mencari sesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan akibat kita
sharing ide kemana-mana. Alasan yang egois sih sebenarnya, tapi
daripada capek memikirkan tanggapan orang lain terhadap usulan kita,
lebih baik 'move on... see you in the future' kan?

Akhir-akhir ini saya sering mendapat tawaran 'nanggap' wayang...
maksudnya tawaran men'training' karyawan kantor. Biasanya di akhir
training, saya selalu memberikan hints-hints bagaimana meningkatkan
pengetahuan, biasanya sih situs-situs mana yang harus dibaca, metode
diskusi yang baik dan lain-lain.

Tapi ujung-ujungnya... ya itu tadi: "terlalu sibuk dengan pekerjaan -
jadi malas belajar". Oh well... at least I tried.

--
<avianto /> - http://avianto.com/

Made Wiryana

belum dibaca,
8 Okt 2007, 07.26.5808/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:
>
> On 10/8/07, gin...@gmail.com <gin...@gmail.com> wrote:
>
> > Udah belajarnya malas, apalagi sharingnya... :)
> ...

> Sedihnya ... lama-kelamaan orang yang mau sharing ini lama


> kelamaan juga menjadi males, karena melihat usulannya tidak
> mendapat tanggapan. Jadinya berhenti.
> Nah, harusnya sih tetap semangat untuk mengadakan sharing
> bersama. Gitu ...

Mas Bud saya mencoba melihat dari sisi lain :-)

Menurut saya budaya sharing itu masih banyak di Indonesia
(simpul-simpul komunitas yang melakukan itu masih banyak). Kendala
bagi mereka yg lama di LN adalah kadang merasa "sulit" masuk ke simpul
itu.

Maaf bisa juga karena bawaan berfikir "saya lebih tahu", dan proses
sharing "Seharusnya" seperti ini. Hal ini sering menimbulkan
resitansi komunitas utk melakukan sharing.

Coba kita "turunkan" gengsi (atau standard atau apalah) dari LN itu
dan memulai masuk ke simpul-simpul yang melakukan sharing, dan pahami
cara mereka mentrigger proses sharing itu, saya yakin hal itu tetap
bisa dilakukan, walau memang membuthkan proses adaptasi.

Ndak percaya :-) saya sudah melakukannya dari 90-an sampai sekarang
:-) dan tetap MAKIN OPTIMIS bahwa itu bisa dilakukan.

IMW

Eris Ristemena

belum dibaca,
8 Okt 2007, 09.04.3308/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
>> Sedihnya ... lama-kelamaan orang yang mau sharing ini lama
>> kelamaan juga menjadi males, karena melihat usulannya tidak
>> mendapat tanggapan. Jadinya berhenti.
>> Nah, harusnya sih tetap semangat untuk mengadakan sharing
>> bersama. Gitu ...
>
> Mas Bud saya mencoba melihat dari sisi lain :-)
>
> Menurut saya budaya sharing itu masih banyak di Indonesia
> (simpul-simpul komunitas yang melakukan itu masih banyak). Kendala
> bagi mereka yg lama di LN adalah kadang merasa "sulit" masuk ke simpul
> itu.
>

Betul, saya yakin semangat sharing itu selalu ada dan tidak bergantung pada
latar belakang pendidikan, suku, ras atau apapun. Saya malah berfikir itu
adalah bawaan dari sifat manusia yang cenderung menyampaikan informasi yg ia
miliki ke orang lain, biarpun orang lain mungkin tidak menginginkan atau
membutuhkannya.

Coba aja, semalas-malasnya atau semalu-malunya karyawan, kalau semalam dia
baru nonton film yang baru tayang perdana pasti paginya cerita/sharing ke
karyawan lain, biarpun yang lain juga sudah nonton film yang sama. Hehe, ini
hasil pengamatan saya di kantor tiap senin pagi .. :-)

Kaitannya dengan topik kita ini, persoalannya kan tinggal dua, 1) informasi
yg dia miliki, seberapa penting/manfaat bagi karyawan lain, 2)
bentuk/suasana media atau forum penyampaian, yg kalau nggak tepat bisa jadi
beban psikologis bagi sebagian orang yg nggak biasa presentasi atau bicara
di depan umum.

Sedikit "paksaan" dan forum penyampaian yg dibuat senyaman mungkin seperti
yg dibilang mas Boy saya pikir ide yg bagus.

-ers


Andriansah™

belum dibaca,
8 Okt 2007, 09.31.2908/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:

Saya sebenarnya juga sangat tertarik untuk sharing, pernah beberapa kali sharing, tapi akhirnya jadi males
kenapa?

karena tanggapan yang diberikan sangat datar dan tidak membuat diri ini jadi tertantang lagi. Akhirnya jadi males deh.


gin...@gmail.com

belum dibaca,
8 Okt 2007, 09.36.1408/10/07
kepadateknologia
On Oct 8, 6:26 pm, "Made Wiryana" <mwiry...@gmail.com> wrote:
> On 10/8/07, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:
>

Pak Made,

Saya percaya banyak simpul-simpul ini.

Mungkin Pak Made bisa cerita konkritnya bagaimana mengidentifikasi /
mengenali trigger / masuk / ikutan dalam simpul-simpul ini? Apa yang
harus jadi "common foundation"-nya supaya bisa nyambung? Atau gak
perlu apa-apa? Semakin konkrit contoh/caranya, semakin baik...

Saya merasa komunitas yang kita hadapi/berinteraksi di kota-kota besar/
secara profesional pada umumnya sangat sensitif akan "kasta" - baik
pendidikan, ekonomi, etc. Jadi mau mengajak diskusi, biasanya sudah
ada barrier "oh dia kan" 'kasta'-nya lain - insert "tingkat
pendidikan / universitasnya di mana / status ekonomi / mobilnya apa /
etc". (Kalo di-peradatan mungkin akan lain lagi determinan 'kasta'-nya
- tapi kadang determinan ini masuk juga...)

Approach "saya lebih tahu" saya rasa tidak salah - untuk hal yang
memang lebih tahu. Kalo gak pernah merasa lebih tahu tentang sesuatu
subject, susah juga untuk bisa bertukar pikiran. Contoh dalam diskusi
ini lah - posting Pak Made kan didasari "saya lebih tahu" (dan
keinginan berbagi/sharing) - yang menurut saya tidak salah; kalau
tidak begitu, ya ngapain posting juga... :)

--Eka Ginting
indo.com

Made Wiryana

belum dibaca,
8 Okt 2007, 10.09.4408/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, gin...@gmail.com <gin...@gmail.com> wrote:
> >
> > Ndak percaya :-) saya sudah melakukannya dari 90-an sampai sekarang
> > :-) dan tetap MAKIN OPTIMIS bahwa itu bisa dilakukan

>


> Saya percaya banyak simpul-simpul ini.

memang banyak dan makin banyak, lha sampe-sampe kalo sekarang saya
liburan ke kampung juga selalu "ditodong" utk ngobrol-ngobrol. Kalau
yg dulu saya lebih banyak "memberikan" sekarang saya cukup
mendengarkan yang rekan-rekan bikin.


> Mungkin Pak Made bisa cerita konkritnya bagaimana mengidentifikasi /
> mengenali trigger / masuk / ikutan dalam simpul-simpul ini? Apa yang
> harus jadi "common foundation"-nya supaya bisa nyambung? Atau gak
> perlu apa-apa? Semakin konkrit contoh/caranya, semakin baik...

Sama halnya dg "gaul" masuk ke lingkungan pergaulan tertentu akan
memiliki teknik dan kondisi yang berbeda. Tapi salah satu common
foundation adalah perasaan tidak adanya jarak antara kita dan
komunitas tersebut.

Untuk itu mempelajari "gaya komunitas" sebelum kita masuk utk
melakukan sharing sangatlah penting. Jadi ndak ada resep "cespleng"
...

> Saya merasa komunitas yang kita hadapi/berinteraksi di kota-kota besar/
> secara profesional pada umumnya sangat sensitif akan "kasta" - baik
> pendidikan, ekonomi, etc. Jadi mau mengajak diskusi, biasanya sudah
> ada barrier "oh dia kan" 'kasta'-nya lain - insert "tingkat

Ya dan tidak :-) kalo kita merasakan kasta itu (atau mempedulikan
banget) maka akan terasa, tapi kalau kita mengabaikan kasta itu ya
kecil pengaruhnya. Istilah orang betawi "cuwek" aja. Terus terang
memang urusan "kasta modern" (kampus mana loe, lulusan mana loe dsb)
sering bikin patah hati. Tapi kalau gara-gara urusan gini aja mundur,
koq rasanya cuma segitu aja ketahanan mental kita hehehehe

> Approach "saya lebih tahu" saya rasa tidak salah - untuk hal yang
> memang lebih tahu. Kalo gak pernah merasa lebih tahu tentang sesuatu
> subject, susah juga untuk bisa bertukar pikiran. Contoh dalam diskusi
> ini lah - posting Pak Made kan didasari "saya lebih tahu" (dan
> keinginan berbagi/sharing) - yang menurut saya tidak salah; kalau
> tidak begitu, ya ngapain posting juga... :)

Lebih tahu memang tidak salah, tapi _pengekspresian_ lebih tahu nya
itu yang sering kali menentukan penerimaan komunitas.

Bagi komunitas cara pengekspresian itu seringkali berperan. (Lupain
deh prinsip message lebih penting dari media, di situasi informasi
"humid" itu tak berlaku).

IMW

Ronsen

belum dibaca,
8 Okt 2007, 04.39.1108/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, Budi Rahardjo <rah...@gmail.com> wrote:
> Mengenai gantian presentasi mengenai sesuatu yang baru merupakan
> hal yang sering dilakukan di luar negeri tapi jarang di Indonesia.
> Dulu waktu saya kerja di research laboratory dan di kampus, di Kanada
> ini merupakan kebiasaan yang bagus.
>
> Setiap minggu, pas makan siang, ada yang gantian memberikan presentasi.

Di tempat saya bekerja namanya Lunch and Learn kebetulan bulan puasa
menjadi Buka and Learn (dimulai pukul 5 sore). Kebiasaan presentasi
ini (dalam bahasa Inggris pula) udah lama dimulai mungkin sejak 3
tahun. Digilir setiap minggu. Belum pernah bolong tuh jadwalnya. Oh
iya, "Lunch"nya dibayar ama kantor. Hehehe...

--
Ronsen
What's that smell? It smells a little like... conspiracy. - T-Bag, Prison Break

Zaki Akhmad

belum dibaca,
9 Okt 2007, 04.59.2709/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/8/07, Andriansah™ <andri...@gmail.com> wrote:
>
> Saya sebenarnya juga sangat tertarik untuk sharing, pernah beberapa kali
> sharing, tapi akhirnya jadi males
> kenapa?
>
> karena tanggapan yang diberikan sangat datar dan tidak membuat diri ini jadi
> tertantang lagi. Akhirnya jadi males deh.

Benar juga sih. Tapi saya lebih menyoroti soal minimmnya tanggapan.
Apa emang orang Indonesia malas memberi komentar? (Eh gak juga lho,
kalau lihat komentar di blog-blog. Mungkin blog bisa dibuat kasus
khusus dan unik)

--
Zaki Akhmad

Made Wiryana

belum dibaca,
9 Okt 2007, 05.36.5509/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com

Kalo komentarnya "pertamax", "sepuluh besar" apa dihitung sebagai
komentar utk sharing ???

IMW

Doyan Ganti Nama

belum dibaca,
9 Okt 2007, 05.41.2109/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/9/07, Made Wiryana <mwir...@gmail.com> wrote:

Kalo komentarnya "pertamax", "sepuluh besar" apa dihitung sebagai
komentar utk sharing ???

pertamax! eh sepuluh besar!
kalau sharing sepertinya tidak mungkin
sekedar meramaikan iya
karena diskusi yang seru adalah diskusi yang ramai bukan?

--
memang benar apa yang dikatakan ybs
http://basibanget.net

Agung Apriantara

belum dibaca,
9 Okt 2007, 07.53.5109/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/9/07, Zaki Akhmad <zakia...@gmail.com> wrote:


Saya lebih melihat orang indonesia malas untuk menulis bukan malas memberi komentar. Kalau disuruh komentar dalam bentuk "ngomong" kayaknya banyak yg jago dan banyak yg tiba-tiba jadi ahli. Mungkin karena  budaya kita budaya bertutur ya?




--
Aprian

love is another way to heaven
w: http://www.aprian.net
e: apr...@aprian.net

Zaki Akhmad

belum dibaca,
10 Okt 2007, 00.45.5710/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/9/07, Made Wiryana <mwir...@gmail.com> wrote:

> Kalo komentarnya "pertamax", "sepuluh besar" apa dihitung sebagai
> komentar utk sharing ???

Anggap saja sebagai iklan pertamina, Pak Made :-) Ya, semua butuh
proses. Ibaratnya baca buku, gak semua orang tahan baca novel tebal.
Ada yang harus mulai dari cerpen dulu, atau bahkan seri chick-lit,
sebelum ke buku-buku "berat".

> IMW

--
Zaki Akhmad

Andriansah™

belum dibaca,
10 Okt 2007, 01.28.0910/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/9/07, Made Wiryana <mwir...@gmail.com> wrote:

Wah, kalo itu kan di blog seleb :), tapi coba deh, biasaya setelah komen pertamax, pasti komen lagi (eh itu mah saya :) )

tapi beneran deh, saya abis presentasi panjang lebar tentang sesuatu sistem yang baru, udah gitu saya tanya " ada pertanyaan gak? " dari 24 orang peserta, tidak ada yang nanya.

Padahal saya pengen banget respons dari mereka, minimal kalo meraka gak tau jadinya nanya, kurang jelas, nanya lagi.

Apalagi saya sudah merasa "khatam" dengan apa yang saya presentasikan.  :)



IMW

http://andri.andriani.web.id/sharing-hosting/

Jaimy Azle

belum dibaca,
10 Okt 2007, 02.43.3210/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On Tuesday, October 9, 2007, 3:59:27 PM, Zaki Akhmad wrote:

> Benar juga sih. Tapi saya lebih menyoroti soal minimmnya tanggapan.
> Apa emang orang Indonesia malas memberi komentar? (Eh gak juga lho,
> kalau lihat komentar di blog-blog. Mungkin blog bisa dibuat kasus
> khusus dan unik)

Saya malah melihat blog sebagai wacana yang bagus untuk membiasakan
orang-orang indonesia agar lebih aktif berkomentar. Dari kacamata saya
pribadi, salah satu budaya yang terbentuk dalam komunitas blogger kita
adalah budaya sowan. Dan mengkomentari atas apa-apa yang terposting
dalam blog adalah salah satu cara untuk menginformasikan pemilik blog
bahwa kita sudah mampir, perkara komentar yang diberikan bermutu atau
tidak itu urusan belakangan. Menurut saya mutu nantinya akan terbentuk
dengan sendirinya seiring dengan berkembangnya wacana dan keterbiasaan
pada komentatornya untuk senantiasa aktif berkomentar.

--
Salam,

-Jaimy Azle

"Train yourselft to let go of everything you fear to loose."
-- Master Yoda


Made Wiryana

belum dibaca,
10 Okt 2007, 04.01.0010/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/10/07, Andriansah™ <andri...@gmail.com> wrote:
>
> tapi beneran deh, saya abis presentasi panjang lebar tentang sesuatu sistem
> yang baru, udah gitu saya tanya " ada pertanyaan gak? " dari 24 orang
> peserta, tidak ada yang nanya.
>
> Padahal saya pengen banget respons dari mereka, minimal kalo meraka gak tau
> jadinya nanya, kurang jelas, nanya lagi.

Soal pertanyaan saat presentasi paling salut saya ama rekan-rekan dari
ABRI. Kalau ngasih seminar kepada mereka, walau sudah level "bintang"
mereka tetap menyimak, dan ketika bertanya bukan sekedar pertanyaan
pantas-pantasan.

Beda sekali kalau di lingkungan kampus :-( Dosen dan dekan biasanya
malah jarang bertanya...ha.h.ah.aha

IMW

Made Wiryana

belum dibaca,
10 Okt 2007, 04.01.5610/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/10/07, Jaimy Azle <jaimy...@gmail.com> wrote:
>
> On Tuesday, October 9, 2007, 3:59:27 PM, Zaki Akhmad wrote:
>
> > Benar juga sih. Tapi saya lebih menyoroti soal minimmnya tanggapan.
> > Apa emang orang Indonesia malas memberi komentar? (Eh gak juga lho,
> > kalau lihat komentar di blog-blog. Mungkin blog bisa dibuat kasus
> > khusus dan unik)
>
> Saya malah melihat blog sebagai wacana yang bagus untuk membiasakan
> orang-orang indonesia agar lebih aktif berkomentar. Dari kacamata saya
> pribadi, salah satu budaya yang terbentuk dalam komunitas blogger kita
> adalah budaya sowan. Dan mengkomentari atas apa-apa yang terposting

Ini mah bukan karena blog, tapi memang karena "darah" Indonesia. Mau
teknologi interkom, CB, ORARI, buntut-buntutnya copy darat :-)

Enak sih soalnya pake ha ha hi hi dan makan makan

IMW

didik achmadi

belum dibaca,
10 Okt 2007, 04.42.1910/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com


On 10/10/07, Made Wiryana <mwir...@gmail.com> wrote:

On 10/10/07, Andriansah™ <andri...@gmail.com> wrote:
>
> tapi beneran deh, saya abis presentasi panjang lebar tentang sesuatu sistem
> yang baru, udah gitu saya tanya " ada pertanyaan gak? " dari 24 orang
> peserta, tidak ada yang nanya.
>
> Padahal saya pengen banget respons dari mereka, minimal kalo meraka gak tau
> jadinya nanya, kurang jelas, nanya lagi.

Soal pertanyaan saat presentasi paling salut saya ama rekan-rekan dari
ABRI. Kalau ngasih seminar kepada mereka, walau sudah level "bintang"
mereka tetap menyimak, dan ketika bertanya bukan sekedar pertanyaan
pantas-pantasan.

Eh ternyata bukan cuman saya yang punya pengalaman gini sama bapak-bapak tentara :D

Tambahan lagi, dulu waktu sering jalan-jalan ke daerah untuk ngasi presentasi ke adek2 smp/sma. Dibandingkan yang dikota, pertanyaan mereka bener-bener bermutu. Terkadang sederhana, tapi tidak basa-basi. Mereka jauh lebih tahu bagaimana menyuarakan pendapat. Begitu sudah masuk ke sekolah-sekolah di kota malah pada jaim dan malu. Mungkin pada malu kalo dicibir temennya. Takut kalo dibilang kampungan, "gitu aja kok ndak ngerti".

ps: untung saya anak kampung, jadi cuek aja dibilang kampungan

--
- D e e -

Affan Basalamah

belum dibaca,
10 Okt 2007, 10.19.0510/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/10/07, Made Wiryana <mwir...@gmail.com> wrote:

> Ini mah bukan karena blog, tapi memang karena "darah" Indonesia. Mau
> teknologi interkom, CB, ORARI, buntut-buntutnya copy darat :-)
>
> Enak sih soalnya pake ha ha hi hi dan makan makan
>
> IMW
>

Wah ya justru kalau saya lihat, pendekatan copy darat itu banyak
berhasilnya pak.
Misalnya kita mau bikin begini begitu, paling enak ketemuan makan2
dulu aja, ngobrol informal, apalagi kalau kita yang mentraktir. Tentu
aja pemilihan manusia tertraktirnya pun harus tepat, agar investasinya
tidak terbuang percuma. Fitrah manusia memang kayak gitu, senang
disayang-sayang dan senang diajak makan bareng, jadi seakan
diperhatikan ama atasan.

Kalau sudah sekali dua kali ketemuan kayak gitu, mau kerja remote via
email, milis, ym, jabber, trouble ticket, video conference jadi lebih
berhasil. Minimal tertraktir merasa ada balas budi kepada pentraktir
:)

BTW sudah pernah lihat demonya aplikasi Microsoft Live Meeting ?
http://office.microsoft.com/en-us/livemeeting/HA102035491033.aspx
Asli kok nyambung ya ama kejadian kita sehari2, terutama ada cuplikan
bagaimana ayam bisa berubah menjadi bebek :D

-affan

Felix Halim

belum dibaca,
11 Okt 2007, 00.18.5611/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com

Kalau menurut pengalaman saya, orang Indo (pada umumnya) kelihatannya
malas membaca :D. Karena malas membaca otomatis tidak ada komentar,
kecuali kalo bacaannya menarik, yang komentar bisa bejibun tapi
biasanya banyak yang gak nyambung juga komentarnya (asbun untuk
rame2in).

Untuk hal menulis, orang Indo (pada umumnya) juga kelihatan malas
menulis. Mungkin penyebab mereka malas menulis adalah kurangnya
background dari hal tersebut, sehingga ragu apa yang mau ditulis. Ini
juga mengakibatkan mereka malas membaca (karena yang dibaca itu tidak
dimengerti sepenuhnya).

Contoh: kalo di kelas (universitas), banyak yang gak baca textbook
yang mereka udah beli mahal-mahal. Sehingga pas dikelas, pas dosennya
nanya, pada bengong semua (gak komentar) padahal jawabannya ada di
textbook. Kebiasaan ini berlanjut ke kehidupan sehari-hari mereka.
Jadi membudaya.

Jadi kalo menurut saya, orang Indo (pada umumnya) malas membaca,
mengakibatkan dia tidak bisa berkomentar ato menulis (exam contohnya,
banyak yang asbun -> ngarang).

Saya yakin kebanyakan orang2 Indo yang sukses itu seperti ini:

rajin membaca -> menganalisa -> menulis apa yang dianalisa -> sharing
apa yang dianalisa -> publik menerima hasil analisa / produk tercipta
hasil analisa -> terkenal -> sukses.

Felix Halim

julius sirait

belum dibaca,
11 Okt 2007, 01.55.0911/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/11/07, Felix Halim <felix...@gmail.com> wrote:
> Kalau menurut pengalaman saya, orang Indo (pada umumnya) kelihatannya
> malas membaca :D. Karena malas membaca otomatis tidak ada komentar,
> kecuali kalo bacaannya menarik, yang komentar bisa bejibun tapi
> biasanya banyak yang gak nyambung juga komentarnya (asbun untuk
> rame2in).
>

Kenapa gak kita balik cara mikirnya? orang2 males komentar, karna
kita2 GAGAL bikin sesuatu itu menarik.

Contohnya: ruby, gak gitu rame di Jepang, walau itu dibuat orang
Jepang. Bukan karna orang2 Jepang males. Dia rame di US sana, karna
mereka BERHASIL bikin ruby menarik.

--
Julius Sirait
http://julius.sirait.net

pico seno

belum dibaca,
11 Okt 2007, 02.55.2011/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
Setuju... Kasus di Indonesia dengan chaotic capitalism nya membangun mindset bahwa yang "lebih" menarik adalah presentasi mengenai kesejahteraan sederhana (bukan cara sulit untuk hidup) atau yang menghasilkan "instant money" (tapi halal). Bukan riset dan hal lain yang tidak mengangkat derajad kehidupannya. Kalau materi presentasi "instant money" tidak tersedia atau kepenuhan kelasnya, maka presentasi infotainment dan sinetron jadi pilihan berikutnya.

Made Wiryana

belum dibaca,
11 Okt 2007, 03.26.0911/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/11/07, julius sirait <sirait...@gmail.com> wrote:
>

Saya setuju, bukan karena orang Indoensia "males" berkomentar tapi
karean mungkin tidak tertarik utk mengomentari topik itu.

Coba saja lihat kalo topik "agama", dan "politik". Pasti komentar,
analisis, dsb-nya banyak sekali.

Menurut para penerbit buku yg laku itu adalah buku bertopik agama utk Indonesia.

IMW

Andry S Huzain

belum dibaca,
11 Okt 2007, 14.19.5311/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
On 10/11/07, Made Wiryana <mwir...@gmail.com> wrote:
Saya setuju, bukan karena orang Indoensia "males" berkomentar tapi
karean mungkin tidak tertarik utk mengomentari topik itu.

Bukan bukan karena tidak tertarik.
Tapi kadang karena memang tidak tau harus berkomentar apa.

Yang parah, komen cuma sekadar pantas-pantasan. Bikin efek echo chamber doank.

Kadang malah takut salah, akhirnya sama sekali diam.
Kadang melihat kemana arah angin, baru bersuara. Takut teralienasi, ....errr....., takut tersisih dari mayoritas.

Akar masalahnya, dengan banyak generalisir, menurut saya: orang Indonesia nggak mau/mampu berpikir kritis. dicekolah, sejak TK s/d SMA, kita lebih banyak diajari "menjawab" daripada "bertanya".


Coba saja lihat kalo topik "agama", dan "politik". Pasti komentar,
analisis, dsb-nya banyak sekali.

Hmm....
Debat vi vs. Emacs memang bersifat agamis.  Saya akui itu :d

Menurut para penerbit buku yg laku itu adalah buku bertopik agama utk Indonesia.

Topik "Budaya Diskusi orang Indonesia" memang berkaitan dengan "Perilaku konsumen Indonesia" ya? Hehe.


Ini sebagai referensi saja:

10 Perilaku Konsumen Indonesia:
* Memori pendek (short term perspective)
* Tidak berencana  (dominated by unplanned behavior)
* Suka Berkumpul  (like to socialize)
* Gaptek (not adaptive to high technology)
* Berorientasi pada konteks (context, not content oriented)
* Suka buatan LN (receptive to COO effect)
* Beragama (religious)
* Gengsi (putting prestige as  important motive)
* Budaya lokal (strong in subculture)
* Kurang peduli lingkungan (low consciousness towards environment)

Sumpah! Cuma copy-paste dari http://www.mail-archive.com/kemahm...@yahoogroups.com/msg00303.html



--
http://andryshuzain.com

Adianto Wibisono

belum dibaca,
22 Okt 2007, 10.14.5122/10/07
kepadatekno...@googlegroups.com
Biasanya sharing pengetahuan itu  side effectnya malah menambah pemahaman orang yang mencoba membagi pengetahuan itu sendiri. Kadang  lebih gampang untuk sekedar membaca tentang suatu hal baru dan 'merasa mengerti' tentang hal baru tersebut, tapi giliran mencoba menjelaskan hal itu ke orang lain, dapet feed back dan pertanyaan dari orang lain, baru terasa bahwa sebenernya kita tidak terlalu paham tentang hal baru tadi. Dan biasanya, dalam berusaha menjawab pertanyaan orang pada saat sharing knowledge, atau pada saat menyiapkan materi untuk presentasi/sharing ini, pemahaman kita sendiri mau ndak mau malah jadi nambah.
Balas ke semua
Balas ke penulis
Teruskan
0 pesan baru