Kami pernah coba utk memberikan layanan podcast
http://www.presidenri.go.id/index.php/layanan/rss/podcast.xml
> Saya lagi wondering (apa ya, kata Indonesia yang cocok? 'penasaran' ya?)
> tentang podcasting di Indonesia. Saya googling hasilnya masih sedikit
> banget. Saya tanya ke temen-temen, rata-rata mereka nggak tahu apa itu
> podcast. Apa hal ini disebabkan karena koneksi yang belum bagus di
> Indonesia? Tapi sebagian warga jakarta yang 'ngantor' dan ada akses internet
> yang cukup baikpun saya kira belum mengenalnya (koreksi kalo saya salah).
> Lalu apa kira-kira penyebabnya? Mengapa media ini masih belum banyak dilirik
> orang di Indo? Padahal mp3 player dengan kapasitas besar bukan lagi barang
> mahal. Share dong..
Pertanyaan yang sering ditanya orang ke saya:
"Kapan update apasajapodcast? - http://apasajapodcast.blogspot.com/ "
Jawaban saya:
"Episode udah banyak, masalahnya uploadnya susah - lambat banget dan
downloadnya juga susah - lambat banget".
Kalau pengalaman pribadi saya ya seperti itu: Masalah bandwidth. Kalau
masalah orang-orang lain yang 'ngantor' saya terus terang tidak tahu,
tapi mungkin kendala "teknologi" bisa jadi jawabannya, karena untuk
podcast baik membuat maupun menikmati, dibutuhkan pemahaman teknologi
yang lebih tinggi dibanding sekedar beremail, baca blog ataupun
instant messenger.
Sekarang pertanyaan dasar deh: untuk baca blog, berapa banyak sih
orang 'kantor' tadi yang menggunakan fasilitas RSS*? Kalau jawabannya
'sedikit', itu saja sudah jadi indikator bahwa pemahaman teknologinya
masih belum terlalu tinggi.
* Podcast baru terasa beda dengan sekedar mendengarkan MP3/audio via
internet bila memahami teknologi RSS. Setuju atau tidak?
--
<avianto /> - http://avianto.com/
> Jawaban saya:
> "Episode udah banyak, masalahnya uploadnya susah - lambat banget dan
> downloadnya juga susah - lambat banget".
Episode-episode awal apasajapodcast dibuat dan diupload/didownload
waktu saya tinggal di tanah seberang =).
Episode-episode yang tidak terupload adalah yang dibuat waktu tinggal
di Indonesia.
Pengalamam menyediakan podcast di situs Presiden, masih sedikit yg
memanfaatkan alasan
- Bingung dengan istilah podcast rata-rata, banyak yg merasa harus
menggunakan iPod :-). Ini terlihat dari lebih banyakyang mengakses
"streaming" daripada podcast. Walau contentnya sama.
- Faktor bandwidth.
Berbeda dengan rss yang lumayan banyak digunakan. Oh ya waktu
penguruman reshuffle, akses bisa sampai 2 kali lipat :-).
IMW
On 5/17/07, boy avianto <avi...@gmail.com> wrote:
>
> Maaf, sedikit update dan konfirmasi:
>
> > Jawaban saya:
> > "Episode udah banyak, masalahnya uploadnya susah - lambat banget dan
> > downloadnya juga susah - lambat banget".
>
> Episode-episode awal apasajapodcast dibuat dan diupload/didownload
> waktu saya tinggal di tanah seberang =).
>
> Episode-episode yang tidak terupload adalah yang dibuat waktu tinggal
> di Indonesia.
Pengalamam menyediakan podcast di situs Presiden, masih sedikit yg
memanfaatkan alasan
- Bingung dengan istilah podcast rata-rata, banyak yg merasa harus
menggunakan iPod :-). Ini terlihat dari lebih banyakyang mengakses
"streaming" daripada podcast. Walau contentnya sama.
- Faktor bandwidth.
Berbeda dengan rss yang lumayan banyak digunakan. Oh ya waktu
penguruman reshuffle, akses bisa sampai 2 kali lipat :-).
IMW
Ini salah satu kebingungan orang-orang dg istilah Podcast. Yang
sebetulnya "cuma" download file multimedia dan bisa dinikmati ketika
tidak online.
Jadi walau sudah disediakan fasilitas itu orang tetap tidak tahu .
Contoh, pertanyaan di atas
IMW
On 5/17/07, It's silentwind™ <arie...@gmail.com> wrote:
> Nah, saya ingin menanggapi masalah ini. Yang disitus presiden kenapa tidak
> ada link untuk download? atau memang hanya tersedia berupa streaming? Karena
> kalau harus mendengan ketika bekerja (koneksi hanya ada saat kerja :D) saya
> pribadi merasa tidak sreg.
Karena 'podcast' itu sebenarnya diunduh melalui berlangganan RSS-nya.
Jadi bukan diunduh langsung dari situsnya =).
Jadi yang utama sebenarnya adalah 'langganan' RSS sebuah podcast
tertentu dan nanti setiap ada episode/file audio baru maka akan secara
terotomatis terunduh ke aplikasi yang digunakan untuk berlangganan
RSS.
Ini yang saya maksud dengan 'pemahaman teknologi' tadi - karena
sebenarnya inti dari podcast BUKAN mengunduh file dari website tetapi
update otomatis melalui RSS. Nah kembali lagi ke pertanyaan saya
sebelumnya "Berapa banyak sih yang memanfaatkan RSS dengan tepat dan
benar?"
Ini yang saya maksud dengan 'pemahaman teknologi' tadi - karena
sebenarnya inti dari podcast BUKAN mengunduh file dari website tetapi
update otomatis melalui RSS. Nah kembali lagi ke pertanyaan saya
sebelumnya "Berapa banyak sih yang memanfaatkan RSS dengan tepat dan
benar?"
Ini salah satu kebingungan orang-orang dg istilah Podcast. Yang
sebetulnya "cuma" download file multimedia dan bisa dinikmati ketika
tidak online.
Jadi walau sudah disediakan fasilitas itu orang tetap tidak tahu .
Contoh, pertanyaan di atas
IMW
On 5/18/07, Adinda Praditya <apra...@gmail.com> wrote:
> Benar sekali, inti podcast sebenarnya hanya itu saja, tidak harus kenal RSS.
> Karena ketidaktahuan tentang itu pun seharusnya bukan menjadi penghalang
> untuk menyediakan podcast. Mungkin belum sosialisasi dan menyadari kegunaan
> podcast ini.
Podcast justru sangat tergantung oleh RSS dan bukan 'hanya itu saja'.
Inti podcast justru adalah 'update otomatis' tanpa harus mengecek ke
situs penyedia podcast tiap hari. Seperti yang disebutkan Adjie, akan
sangat tidak efektif:
"Selain itu kebanyakan dari kita masih sibuk menghabiskan waktu untuk
browsing dari satu site ke site lain di banding menggunaka software
atau plugin RSS spt "SAGE"."
> Dulu (sebelum software alternatif untuk download podcast ada --yg saya tau
> tntunya) saya download manual dari website penyedia podcast, pindahin
> sendiri ke komputer, trus dengerin secara offline. Jadi intinya memang
> seperti pak IMW katakan. Apakah berarti hanya sebatas sosialisasi dan
> bandwidth nih..?
Tidak efektif dan kalau mengikuti lebih dari 3 podcast akan sangat
repot mengunduh manual satu-persatu. Sosialisasi dan bandwidth memang
sangat berpengaruh, tetapi kemudahan yang justru ditawarkan oleh RSS
jadi nihil karena 'pemahaman teknologi' yang kurang dan akhirnya malas
kalau harus mengunduh satu persatu.
Padahal kalau memanfaatkan RSS bisa diilustrasikan sebagai begini:
"Pagi hari bung Adinda datang ke kantor. Buka iTunes (atau aplikasi
lainnya utk update RSS podcast) dan otomatis mengunduh file-file
podcast terbaru di latar belakang. Sore harinya iPod (atau alat
pendengar mp3 lainnya) di'sync' dengan iTunes. Pulang kantor sambil
mendengarkan podcast-podcast hasil unduhan seharian..."
Tidak repot, otomatis dan efisien.
Podcast justru sangat tergantung oleh RSS dan bukan 'hanya itu saja'.
Inti podcast justru adalah 'update otomatis' tanpa harus mengecek ke
situs penyedia podcast tiap hari. Seperti yang disebutkan Adjie, akan
sangat tidak efektif:
"Selain itu kebanyakan dari kita masih sibuk menghabiskan waktu untuk
browsing dari satu site ke site lain di banding menggunaka software
atau plugin RSS spt "SAGE"."
Teknologi RSS memang sangat erat dengan efektifitas, namun bukan berarti suatu keharusan untuk langganan podcast. Saya berfikirnya begini:
Podcast saya kira pun demikian. Makanya saya kasih contoh keadaan saya. Sewaktu kakak saya nyaranin untuk dengerin podcast IT dengan segala keuntungan podcast, saya sangat tertarik untuk menikmati layanan dengan format itu. Nah dari ketertarikan manfaat yang akan saya dapat ini, saya download manual dari website penyedia podcast, pindahin sendiri ke komputer, trus dengerin secara offline.
Atau jangan-jangan, karena opini "kalo mau menikmati podcast, harus pake itunes (dan/atau) harus dengan RSS" sehingga (justru kesalahpahaman inilah yang) menyebabkan orang indonesia menjadi 'pesimis' untuk menggunakannya.
2. Bandwidth di Indonesia hanya bisa didapat di kantor. Tapi apakah anda
"berani" open suatu home page yang ada bunyinya? Saya yakin kebanyakan
pekerja kantor komputernya tidak ber-speaker, atau kalau laptop
berspeaker, selalu dipasang pada kondisi mute. Karena ada stigma, web
browser yang bunyi, berarti sedang browsing site "nakal" yg tidak ada
hubungannya dengan produktifitas kantor. Selain itu pemakaian headphone
selalu tidak dianjurkan, karena mengisolasi dari kondisi lingkungan dan
phone or boss call.
3. Mencolokkan MP3 player ke komputer kantor? Wah, kebanyakan IT company
yg punya rahasia besar, biasanya menyatakan MP3 player dan segala macam
flash disk tidak diperkenankan untuk dibawa bekerja. Juga headphone
ber-kamera. Financial industry, IT R&D company, Semiconductur industry,
etc. Itu juga kenapa saya selalu bawa headphone tak berkamera dan
labelling my USB+MP3 player, karena kudu surrender barang tersebut
ketika masuk kantor type begituan.
4. Saya memang jarang download podcast, tapi saya sering download
webinar dan macam macam audio presentation dalam bentuk MP3. Yg sering
saya sesalkan adalah tidak jelasnya filename dan ID3 tag dari materinya.
Misalkan 0001.MP3. Kudu didengarkan dulu untuk tahu ini file isinya apa.
Dan juga MP3 player yg flash based itu biasanya cuman punya 1 liner
screen, gak enak untuk scrolling and searching file name. Dan juga
paling banget 2 level directory structures. Itu juga kenapa saya pakai
iPod classic yg 40-60GB, karena layarnya besar dan bisa search dengan
cepat. Selain itu kalo audio materialnya besar, misalkan paling tidak 30
menit, saya rela mengedit ID3 tag-nya supaya jadi informatif ketika di
search di iPod.
Karena tampaknya bertujuan mengumpulkan seluas mungkin jawaban, saya ikut deh:
1. karena bagi saya suara itu untuk musik atau bercakap-cakap. Saya
tidak terlalu suka berpidato atau mendengar pidato (dibanding menulis
atau membaca teks). Termasuk mendengar radio yang isinya percakapan
dengan nara sumber dan laporan kemacetan lalu-lintas -- mending mereka
putar musik non-stop.
2. navigasi lebih sulit. Mencari bagian yang penting di sebuah rekaman
audio bisa menyita waktu lebih banyak dibanding teks.
3. kurang interaktif, sehingga seperti (1) seolah-olah menikmati media
satu arah. Mau pasang komentar, lacakbalik ("trackback"), dan hal-hal
lain yang bersifat interaksi gagasan lebih sulit. Di alat bantu
berbasis teks yang seperti ini sudah otomatis.
Suara baru terasa penting pada saat mengobrol "online" ("chat"),
soalnya capek juga harus mengetik banyak dan bersifat respon seketika.
--
amal