Google Groups no longer supports new Usenet posts or subscriptions. Historical content remains viewable.
Dismiss

PIMPRO : MAILING LIST DAN PENGARUH POLITIKNYA

30 views
Skip to first unread message

Pimpro

unread,
Mar 8, 1999, 3:00:00 AM3/8/99
to
Mailing List dan Pengaruh Politiknya

Saat pers tabu membicarakan praktik KKN Presiden Soeharto dengan para
kroninya, berbagai forum diskusi di internet sudah mengungkapnya
habis-habisan. Meski tidak sepenuhnya benar, isu yang muncul di internet
tetap menjadi sumber berita banyak pihak, termasuk para wartawan dan
indonesianist di luar negeri. Apa perannya dalam proses politik suatu
negara?

Masih ingat Amir Santoso? Doktor dari FISIP UI ini sedianya sudah meletakkan
gelar profesor di depan namanya. Namun karena tersandung tuduhan penjiplakan
karya ilmiah, ia harus rela menanggalkan --setidaknya menunda-- cita-citanya
mendapatkan gelar terhormat itu.

Bahkan lebih dari itu, Amir juga harus rela popularitasnya sebagai pakar
politik
menurun di mata masyarakat, karena kini wartawan jarang sekali mengutip
pendapatnya. Padahal sebelum kasus itu mencuat, analisis politik Amir tentang
situasi politik aktual sering jadi rujukan berbagai media massa nasional.

Barangkali Amir tidak pernah menyangka efeknya demikian fatal, karena mulanya
tuduhan plagiatisme itu hanya terpampang dalam forum diskusi di internet
(mailing
list) bernama Indonesia-L. Dan pengakses internet di Indonesia masih relatif
sedikit.

Masalahnya, artikel di Indonesia-L --yang populer dengan sebutan apakabar@--
itu
sering jadi rujukan para wartawan. Oleh wartawan, issu tersebut kemudian
dikonfirmasikan kepada yang bersangkutan. Lalu meledaklah menjadi kasus yang
mengganjal karir Amir.

Issu Perkosaan Massal

Ternyata sodokan berita di internet tidak hanya bisa menohok seseorang. Sebuah

negara pun bisa klabakan dibuatnya. Ingat isu perkosaan massal yang muncul
pasca
kerusuhan Mei 1998?

Selang beberapa waktu dari kerusuhan yang banyak menelan korban meninggal itu,

tiba-tiba muncul berita ratusan amoy diperkosa. Padahal tak ada satu wartawan
pun
yang mendapatkan berita itu, meski mereka tersebar di berbagai pelosok tempat
kejadian. Lantas darimana sumbernya, sehingga tak ada wartawan yang tahu?

Usut punya usut, ternyata awal ceritanya juga bermula dari internet. Di salah
satu
news group (news: soc.culture.indonesia) di internet dikutip cerita pengakuan
seorang perempuan bernama Vivian serta beberapa perempuan keturunan Cina lain
yang diperkosa ramai-ramai oleh orang pribumi. Yang keterlaluan, dikisahkan
para
hidung belang itu berkata, "Kamu diperkosa karena kamu Cina dan non muslim,"
lantas bertakbir sebelum memperkosa.

Gampang ditebak, ini tak lain sekedar cerita isapan jempol untuk membuat kesan

buruk terhadap kaum muslimin.

Celakanya, cerita seperti ini dipercaya begitu saja oleh kalangan pers dengan
mem-blow up besar-besaran. Padahal berbagai media itu juga tidak berhasil
mendapatkan perempuan-perempuan yang menjadi korban, seperti halnya kalau
wartawan koran kriminal memberitakan kasus pemerkosaan biasa.

Para aktivis feminisme seperti mendapat durian runtuh ketika mendapakan issu
ini.
Mereka sibuk menggerakkan demo menentang perkosaan massal yang tidak jelas
siapa dan dimana korbannya itu. Lantas membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF) bersama berbagai pihak lain untuk menyelidikinya.

Tindak perkosaan memang harus diperangi. Tapi mengapa mereka tidak bergerak
sama sekali untuk membela sekian banyak perempuan korban perkosaan dan
pembunuhan di Aceh selama diberlakukan DOM. Padahal siapa yang jadi
korbannya lebih jelas ketahuan.

Meski demikian, issu itu terus menggelinding hingga ke luar negeri. Surat
kabar
Sidney Herald Tribune dan New York Times yang bertiras besar tak ketinggalan
memuat issu ini pula. Membuat citra buruk di dunia internasional bahwa orang
Indonesia biadab.

Memang terasa pahit, tapi itulah konsekuensi menjadi pihak pecundang di abad
informasi (the age of information). Seperti dikatakan Alvin Toffler dalam
bukunya
The Third Wafe (Gelombang Ketiga), revolusi gelombang ketiga yang berupa
revolusi bidang informasi ini memiliki efek penyatuan (unifying effect). Yakni

berita tentang sesuatu bisa dengan cepat disebarkan ke berbagai wilayah
sehingga
memberi dampak yang meluas.

Masalahnya, menurut sosiolog UI yang juga pengamat internet Imam B Prasodjo,
dalam dunia riil kerap terjadi ketidaksetaraan penguasaan informasi (unequal
information). Kelompok kuat (dominant group) memiliki akses untuk
menyebarkan informasi, sementara kelompok lemah (less dominant group) hanya
menjadi objek. Sehingga cenderung terjadi fenomena dominasi dan eksploitasi
satu
pihak pada pihak yang lain.

Dalam kasus issu perkosaan massal dan sejumlah issu politik lain di Indonesia,

khususnya kalangan Islam, nampaknya masih menjadi kelompok masyarakat yang
mayoritas tapi less dominant group.

Fakta ini menegaskan, internet --termasuk mailing list (milist)-- meski masih
terbatas penggunanya pada kalangan menengah ke atas yang sedikit jumlahnya,
tapi
karena yang sedikit itu adalah kelompok dominan, maka peran internet tidak
bisa
lagi dipandang dengan sebelah mata.

Rawan Fitnah

Menurut majalah Info Komputer, sejak software milist diluncurkan, hingga tahun

1997 saja ada lebih dari 70 ribu milist yang bertebaran di jaringan komputer.
Sedangkan di Indonesia hingga kini 'baru' ada sekitar 300-an buah.

Dari data yang dikumpulkan Budi Rahardjo dari ITB, hingga kini tercatat ada
244
buah milist Indonesia, yang tersedia di dua situs
(http://www.paume.itb.ac.id/rahard/id/milis.html dan
http://indonesia.elga.net.id/milis.html). Itu belum termasuk milis-milis yang
dilayani
server ITB. Menurut pengelolanya Onno W Purbo, kini melayani sekitar 100
milis.

Diperkirakan jumlah itu tentu akan lebih banyak, mengingat belakangan muncul
situs internet penyedia fasilitas milis gratis (free web list) seperti
e-Groups,
Cool-list, Make-list serta One-list.

Dewasa ini kebanyakan milist Indonesia dimanfaatkan untuk menghimpun dan
menjalin komunikasi antar para netter (sebutan untuk pengguna internet) yang
se-almamater, seperti UI-Net, ITB-Net, IPB-Net, ITS-List serta Gama-Net. Atau
menghimpun mereka yang seprofesi seperti IDS-Net (untuk pengamat studi
pembangunan), IAI-Net (kalangan arsitek) yth-wartawan (kalangan wartawan)
serta
IDI-Net (kalangan dokter).

Ada juga milist yang merupakan jaringan komunikasi orang sedaerah, seperti
Aceh-Net, Rantau-Net, Banyumasan-Net. Milist lain ada yang berkutat pada
lingkungan hidup (Bumi-Net), ada yang bicara soal bisnis dan ekonomi
(Business-Forum dan Ekuin-Net), bahkan ada yang khusus untuk masyarakat
pencinta alat musik (Angklung-Net).

Forum diskusi untuk organisasi keagamaan termasuk yang banyak peminatnya. Di
kalangan Islam ada, antara lain, milist Isnet, Kammi, Mushalla serta
Salamullah-Info milik Jamaah Salamullah pengikut Lia Aminuddin. Pemantauan
Sahid di website e-Groups tempat arsip milist mereka bersarang, para
pengikutnya
masih saja aktif mendiskusikan hubungan baik antara imam mereka dengan 'Sang
Jibril'.

Di kalangan Kristen dan Katolik ada milist Paroki-Net, Fellowship of
Indonesian
Christians in America (FICA-Net), Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia Net
(KMKI-Net). Di kalangan pemeluk Budha ada milist Buddhism-world, sedangkan
di kalangan Hindu ada milis Dharma.

Tapi yang terbanyak peminatnya masih milist umum, terutama milist Indonesia-L,

dengan nama populer apakabar@. Milist ini begitu terkenal karena sangat
majemuk
pesertanya dan 'terpanas'beritanya. Isinya mulai dari sekedar menawarkan
komputer bekas hingga debat keras dan saling hujat soal SARA.

Apakabar@

Dalam soal issu politik, Indonesia-L ini memang jagonya. Di kala media massa
umum masih takut-takut mengkritik pemerintahan Orba, di milis ini Soeharto dan

para pembantunya sudah lama menjadi objek kritik bahkan hujatan.

Meski waktu itu Soeharto masih jadi orang kuat. Para penghujat memang tak
perlu
takut-takut memuntahkan hujatannya, karena dengan memakai nama samaran dan
berlindung di balik alamat email sekunder (free e-mail) yang disediakan gratis
oleh
sejumlah situs di internet seperti hotmail, identitas mereka sulit diketahui
umum.

Ada juga yang berani terang-terangan menyerang pemerintah tanpa
menyembunyikan identitas dirinya. Tapi biasanya mereka teriak-teriak dari luar

negeri, seperti yang dilakukan tokoh oposan George Junus Aditjondro, mantan
dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang bermukim di Australia.

Saking lakunya situs itu, situs internet www.Indopubs.com/archives, tempat
arsip
Indonesia-L ditampilkan, seharinya dikunjungi sampai ribuan orang. Kabarnya
termasuk di antaranya pakar politik AS pengamat Indonesia seperti William
Liddle.

Keunikan Indonesia-L, e-mail yang dikirim ke apak...@saltmine.radix.net
(dulu:
apak...@clark.net) harus melalui proses pemilahan (sortasi) yang dilakukan
moderator bernama John MacDougall.

Menurut Imam Prasodjo, tugas moderator milist adalah sekedar memilah-milah
e-mail yang sampah (junk mail) atau bukan. Dia seharusnya tidak memilah
berdasarkan gagasan. Namun kenyataannya, bagi sebagian kalangan, kinerja
MacDougall tidak selalu fair. Seperti pernah dikeluhkan Hidayat, seorang
aktivis
KISDI, ia pernah mengirimkan sejumlah e-mailnya yang berisi bantahan terhadap
pihak-pihak yang menghina Islam, tetapi postingnya tidak dimuat oleh
moderator.
Meski begitu, selama masa Orde Baru, milis ini boleh dibilang tetap yang
paling
populer dan banyak peminatnya.

Yang menarik, tak lama setelah Soeharto turun tahta, Indonesia-L sempat surut
dari peredaran, jadi hanya untuk yang membayar iuran langganan. Tapi nampaknya

tidak lama kemudian dibuka kembali. Ketika Sahid bulan lalu mencoba membuka
kembali situs Indopubs, ternyata milis itu telah aktif kembali seperti semula.

Pasca Orde Soeharto, milist serupa Indonesia-L bertambah banyak. Di samping
'pemain lama' seperti milis Kabar dari Pijar (KdP) dan milis SiaR, sejak
beberapa
bulan lalu muncul para pendatang baru, seperti milis milik Gerakan Sarjana
Jakarta
(GSJ) <reforma...@egroups.com> serta Indonesia Daily News Online
<indo...@indo-news.com>. Isinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia-L,
penuh fitnah dan sumpah serapah.

Di samping milist seperti itu, ada pula pula variasi lain yang tidak kalah
menarik.
Yakni website berita yang diperbarui (up-date) dari jam ke jam, seperti
laiknya situs
CNN-Online, namanya Detikcom.

Namanya mengingatkan orang pada mendiang Tabloid Detik. Tapi menurut
redaksinya tidak ada hubungan sama sekali dengan tabloid itu, meski beberapa
personilnya memang berasal dari Detik.

Pengunjungnya lumayan membludak. Hitsnya per hari mencapai antara 130.000 -
160.000 hits. Sedangkan usernya berkisar hingga 20.000 orang.

Dalam pengamatan Sahid, iklan yang ada di situs tersebut terbilang masih
sangat
sedikit. Namun menurut pengelolanya, meski masih sedikit, dari iklan yang ada
sudah menutup biaya operasionalnya.

Seperti mengikuti jejak media massa cetak, ternyata bicara politik di internet
juga
bisa menghasilkan uang.

Andil Menjatuhkan Soeharto?

Bagi sebagian kalangan, internet --khususnya milist-- punya kontribusi penting

dalam gerakan reformasi dan aksi menjatuhkan Soeharto. Dengan adanya internet,

menurut manajer CBN-Net Sentot E Baskoro, ide people power seperti di Filipina

bisa disosialisasikan di beberapa ruangan chat dan milis seperti apakabar@ dan

KdP.

Karena itu, "Terima kasih harus diberikan kepada para ISP (perusahaan
penyelenggara internet, red) yang tidak menyunat dan menyensor isi dari lalu
lintas
mereka," tulis Sentot di Info Komputer.

Sentot mengisahkan, ketika para mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR Mei
tahun lalu, di antara mereka ada yang membawa komputer jinjing (laptop). Dalam

situasi terkepung, dari menit ke menit mereka terus mengirimkan pesan dan
berita
via e-mail ke berbagai wartawan media asing yang kemudian meneruskan ke
medianya serta aktivis HAM di Amerika.

Imam Prasodjo punya pandangan serupa. Dalam pengamatannya gerakan
mahasiswa sangat mengandalkan jaringan kerja (network) sesama aktivis. "Nah
alat
yang memungkinkan mereka berkoordinasi dengan cepat dan luas ke dalam dan
luar negeri adalah telepon dan e-mail" jelasnya doktor sosiologi ini.

Agak berbeda dengan pandangan Sentot, pakar internet dari ITB Onno Purbo dari
dan Eni Maryani MSc dari Fikom Unpad menilai, peran milist baru sampai pada
upaya membangun kesadaran politik dan demokrasi para netters, belum terlalu
berpengaruh dalam menggerakkan aksi. Karena menurut Onno, sampai saat ini
pengguna internet masih sedikit. "Kuncinya harus banyak orang yang terdidik,
karena orang yang terdidik yang umumnya menggunakan internet," jelas konsultan

di sejumlah perusahaan ini.

Tapi meski sedikit, mereka adalah kelompok masyarakat Indonesia yang
memegang peran penting di lingkungan sekitarnya. "Jadi besar kemungkinan
mereka memegang peran yang signifikan," tambahnya.

Redi Panuju, pengamat komunikasi dari Unitomo Surabaya, malah meragukan
peran milist dalam aksi massa menggulingkan Soeharto tahun lalu. Sebab,
menurutnya, pengguna internet adalah orang yang rasional, sementara informasi
yang ada kredibilitasnya diragukan. "Mereka tidak tidak mudah terpengaruh oleh

informasi yang sifatnya sampah itu."

Sedangkan Ade Armando, dari Jurusan Komunikasi FISIP UI mengakui, internet
dan mailing punya peran dalam gerakan mahasiswa, tapi bukan satu-satunya.
"Kejatuhan rezim Soeharto adalah akibat akumulasi berbagai kekuatan, antara
lain
milis."

Keragaman pendapat juga tercermin dari poolling netter Sahid. Angket
disebarkan
melalui tiga milist: is-...@isnet.org, is-...@isnet.itb ac.id dan
ka...@isnet.itb.id.
Responden yang masuk 71 orang. Dilihat dari umurnya, kebanyakan mereka
mahasiswa (20-25 tahun: 54%). Hasilnya menunjukkan, 43% mengatakan setuju,
34% tidak setuju dan sisanya menjawab tidak tahu.

Tetapi terhadap pertanyaan apakah milist cukup berpengaruh terhadap kondisi
sosial politik, 76% netter menjawab setuju, sisanya tidak tahu. Jadi
kesimpulannya,
sekecil apapun tentu punya andil, ya kan?

shw, jsd, cha, jip


0 new messages