Google Groups no longer supports new Usenet posts or subscriptions. Historical content remains viewable.
Dismiss

Bahaya Jahil Ilmu Agama

33 views
Skip to first unread message

Hasan Mukmin Mabruk

unread,
Jun 22, 2002, 2:29:26 AM6/22/02
to
Bahaya Jahil Ilmu Agama

Menuntut ilmu agama, khususnya ilmu tentang apa-apa yang jadi kewajiban sebagai hamba Allah adalah fardhu ‘ain. Setiap orang harus mengetahui kewajiban-kewajibannya, maka menuntut ilmu tentang itu hukumnya adalah fardhu ‘ain. Sebab, tanpa mengetahui ilmunya, maka tidak akan bisa melaksanakan kewajibannya dengan benar.

Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Sesungguhnya amal yang dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar itu tidak akan diterima, begitu juga jika amal itu benar namun tidak ikhlas (juga tidak diterima). Ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah, dan benar hendaklah tegak berdasarkan sunnah.

Amal yang tidak sesuai dengan sunnah, baik itu karena penyelewengan maupun karena kebodohan, maka tidak diterima. Sebab Nabi saw bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak.” (HR Muslim).

Orang yang beramal tanpa ilmu dan orang yang berilmu tetapi menyeleweng adalah dua golongan yang sangat merepotkan. Sulit diaturnya, dan menjadikan lelahnya orang yang mau meluruskannya. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib berkata: Patahlah punggungku gara-gara dua orang, yaitu orang berilmu yang menyeleweng dan orang bodoh yang rajin ibadah.

Pernyataan yang hampir sama dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah: “Kebodohan dan kedhaliman adalah pangkal dari segala keburukan.”

Kebodohan itu saja sudah merupakan pangkal keburukan, apalagi justru kebanyakan manusia itu bodoh dalam hal agama. Maka benarlah firman Allah SWT yang mengecam manusia:

Janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti, mereka (hanya) mengetahui secara lahir (saja) dari kehidupan dunia, mereka lalai terhadap akherat.” (QS Ar-Ruum: 6-7).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat yang ketujuh Surat Ar-Ruum ini mengatakan: “Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini mereka cerdik cendekia (istilahnya piawai), tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfa’at bagi mereka di akherat. Mereka dalam hal agama dan akherat ini bagai orang dungu yang tak punya nalar dan akal pikiran.”

Jahilnya seseorang terhadap ilmu agama bisa menjerumuskan ke bid’ah bahkan kemusyrikan. Dalam hadits dijelaskan, ketika Adi bin Hatim menghadap Rasulullah saw, di lehernya tergantung salib dari perak, lalu Nabi saw membacakan ayat:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah.” (QS At-Taubah: 31).

Maka jawab Adi bin Hatim: “Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!”

Sabda Nabi saw: “Benar, tetapi sesungguhnya mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib) mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikuti, itulah ibadah kepada mereka.” (HR Al-Tirmidzi).

Dalam kisah itu, karena kebodohannya tentang agama, maka terjerumus kepada hal yang menyekutukan Allah.

Oleh karena itu, menuntut ilmu agama itu adalah meniti jalan ke surga, sebab menghindari dari jalan yang menuju kesesatan, baik itu bid’ah, khurofat, takhayyul, maupun sampai pada kemusyrikan/ menyekutukan Allah. Dan hal itu ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw:

“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Lebih jelas lagi bahwa mengetahui atau memahami ilmu agama itu sangat penting untuk terhindar dari kesesatan, bid’ah, khurofat, takhayyul dan syirik adalah sabda Nabi saw:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah fahamkan dia dalam ilmu agama.” (HR Al-Bukhari).

Kebaikan di situ berarti lawan dari keburukan. Sedang keburukan yang merusak agama di antaranya adalah kesesatan-kesesatan. Dan kesesatan itulah yang diberantas oleh ilmu dien, karena ilmu dien adalah warisan para nabi. Sehingga para pemilik ilmu dien, yaitu ulama adalah pewaris para nabi. Keutaman ulama itu dijelaskan oleh Nabi saw:

“Keutamaan seorang alim (berilmu agama) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti keutamaan rembulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu (agama), maka barangsiapa mengambilnya (yaitu mengambil warisan ilmu agama) maka dia telah mengambil keuntungan yang banyak.” (HR At-Tirmidzi).

Sampai-sampai Allah pun menjanjikan untuk mengangkat derajat orang iman yang berilmu dengan firman-Nya:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” ( Al-Mujadilah: 11).

Sebaliknya, kalau manusia sudah mengangkat orang-orang jahil/ bodoh sebagai pemimpinnya, maka yang terjadi adalah sesat menyesatkan.

Nabi Muhammad saw menjelaskan:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari hamba-hamba, tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut (mewafatkan) para ulama, sehingga tidak ada lagi seorang alim pun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka itu lalu dimintai fatwa, maka mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR Al-Bukhari 1/ 34).

Hal yang buruk pula akan menimpa umat ketika menjelang kiamat dalam kaitan dengan ilmu. Nabi saw menjelaskan:
“Sesungguhnya termasuk salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang-orang rendahan/ cere-cere.” (lihat kitab Silisilah Hadits Shahih no 695).

Imam Malik berkata: “Ilmu itu tidak diambil dari empat golongan, tetapi diambil dari selainnya. Tidak diambil dari:
1. orang yang bodoh
2. orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya
3. orang yang mengajak bid’ah dan pendusta walaupun tidak sampai tertuduh sebagai mendustakan hadits-hadits Rasulullah saw
4. orang yang dihormati, orang shaleh, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memahami permasalahannya.

Orang alim (ulama) adalah cahaya bagi manusia lainnya. Dengan dirinyalah manusia dapat tertunjuki jalan hidupnya. Ada kisah dalam Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dimuat dalam Kitab Riyadhus Sholihin, bab taubat, ada seorang pembunuh yang membunuh 100 orang. Dia bunuh seorang rahib/ pendeta ahli ibadah sebagai korban yang ke-100 karena jawaban bodoh dari si ahli ibadah itu yang menjawab bahwa sudah tidak ada lagi pintu taubat bagi pembunuh 99 nyawa manusia.

Akhirnya setelah membunuh si ahli ibadah yang menjawab dengan bodoh itu, maka si pembunuh pergi ke seorang alim, dan di sana ia ditunjukkan jalan untuk bertaubat, yaitu agar pergi ke tempat yang di sana penghuninya menyembah Allah, maka ia agar ikut menyembahNya sebagaimana yang mereka lakukan, dan jangan sampai kembali ke desa semula karena di sana tempat orang jahat.

Di tengah jalan, ia mati, maka Malaikat Rahmat bertengkar dengan Malaikat Adzab. Lalu datang malaikat berujud manusia, menjadi hakam (juru damai), menyuruh agar diukur mana yang lebih dekat, kampung baik atau kampung jelek. Ternyata mayat ini lebih dekat sejengkal ke kampung baik yang dituju untuk bertaubat itu, maka dia dibawalah oleh malaikat Rahmat. Demikianlah. Dengan adanya orang alim yang memberi petunjuk tentang kebenaran, maka diapun mendapatkan penerangan bagi jalan hidupnya, hingga mendapatkan jalan untuk bertaubat.

Betapa jauh bedanya antara yang berilmu dan yang tidak. Antara yang menyesatkan dan yang menunjukkan kebenaran.

Sumber: Buku “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia”, Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Februari 2002.

--
_______________________________________________
Download the free Opera browser at http://www.opera.com/

Free OperaMail at http://www.operamail.com/

Powered by Outblaze

0 new messages